Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, menegaskan, pembangunan desa harus terintegrasi, terpadu, dan terkonsolidasi sehingga program pemberdayaan masyarakat bisa berjalan efektif.
“Desa harus menjadi subjek, jangan menjadi objek. Kita ingin pembangunan di level desa harus terintegrasi, terpadu, dan terkonsolidasi,” kata Budiman.
Selama ini desa hanya dijadikan sebagai objek kebijakan dari struktur di atasnya. Hal itu menyebabkan adanya fragmentasi dan tumpang tindih terkait kelembagaan, perencanaan, pendidikan, pertanian, dan kehutanan. “Pemimpin dalam hal ini harus punya pengetahuan elementer yaitu data dan peta keadaan di desa,” ujarnya.
Undang-Undang Desa menginginkan adanya rekonsiliasi keuangan dalam satu pintu. Dia mengatakan negara harus mencoba menerapkan sistem jaringan dimana tiap unit desa dalam tata kelola itu harus solid sehingga konsolidasi program berjalan.
Menurut Budiman, selama ini elit desa sering dikuatkan namun masyarakat marjinal selalu disisihkan karena representasinya rendah. Karena itu, UU Desa dirumuskan dalam lingkup pemberian kewenangan pada pemerintah desa, subsideritas, ada pengakuan masyarakat, partisipasi, demokrasi, dan keragaman.
“Asas pengakuan, misalnya tanah ulayat berperan sebagai penyuplai makanan. Asas pembangunan ekonomi, artinya adanya penambahan aset desa dengan pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Budiman juga mengatakan bahwa dari data yang ada diketahui adanya perbedaan pemberian bantuan bagi desa di tiap wilayah di Indonesia. Hal itu menyebabkan tidak meningkatnya indeks pembangunan desa.
Harmonisasi RUU
Pada bagian lain, Budiman menuturkan bahwa DPR juga terus melakukan upaya harmonisasi RUU Pemerintahan Daerah dan RUU Desa dengan menjalin komunikasi lintas fraksi dan lintas panitia khusus. “Kami hormanisasikan, misalnya mengundang pansus yang membahas rancangan undang-undang tertentu untuk bertemu menyinkronkan isinya,” katanya.
Dia mencontohkan, Pansus RUU Pemda bertemu dengan Pansus Hukum Adat membahas hal apa saja yang sudah dan belum diatur. Selain itu juga dilakukan dengan pertemuan dengan pimpinan Badan Legislasi DPR dan pertemuan antarpimpinan komisi.
Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri I Made Suwandi mengatakan secara filosofi tidak ada perbedaan mengenai RUU yang sedang dibahas DPR, seperti Pemerintahan Daerah, RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), RUU Aparatur Sipil Negara, RUU Pemilihan Kepala Daerah, dan RUU Desa.
“Secara filosofi, diantara kami (pemerintah dan DPR) tidak ada perbedaan namun ketika masuk pembahasan pasal per pasal, lain lagi ceritanya,” katanya.
Kemendagri juga akan segera berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait seperti Kementerian Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menyelesaikan beberapa isi RUU yang tumpang tindih.
Suwandi mengapresiasi adanya masukan dari berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat, yang menemukan adanya tumpang tindih dari lima RUU tersebut.
Sebelumnya, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menilai ada lima RUU yang tumpang tindih dalam pengaturannya, sehingga desentralisasi belum tentu memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat.
PATTIRO menilai kesejahteraan itu terwujud atau tidak tergantung pemerintah daerah dalam mengelola wewenang, dana, dan sumber daya manusia birokrasi yang dimilikinya.