RENCANA pemberian hak diskresi atau kebal hukum bagi kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) terus jadi kritikan sejumlah pengamat.
Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan lnformasi Regional (PATTIRO) Sad Dian Utomo meminta pemerintah dan DPR mempertegas pengertian hak diskresi kepala daerah yang akan diatur dalam RUU Pemerintah Daerah (Pemda). “Hal ini penting supaya hak itu lidak dijadikan tameng bagi kepala daerah dan pejabat daerah untuk kebal dari gugatan hukum.” lelas Sad Dian kepada Rakyar Merdeka, kemarin.
Menurutnya, pengatuan hak diskresi bagi kepala daerah dan para pejabat daerah itu mesti melibatkan beberapa ketentuan. Pertama, definisi yang tegas tentang hak diskresi. Terutama, meliputi ruang lingkup atau batas-batas wilayah dimana kebijakan kepala daerah yang bersifat diskresi dapat dirumuskan, ditetapkan, dan dijalankan.
Kedua, tujuan dari pengambilan kebijakan diskresi kepala daerah harus dapat diketahui, diprediksi hasilya, dan dipahami setiap stakeholder kebijakan itu.
Ketiga, syarat-syarat yang tegas dan jelas bagi perumusan dan penetapan kebijakan diskresi dari kepala daerah sangat penting.
“Sehingga peluang dan potensi untuk menyalahgunakan kewenangan diskresi dan tindak pidana korupsi dengan berlindung dibalik diskresi dapat direduksi dan dihindari,” tegasnya.
Keempat,hak diskresi harus dipertegas tidak melampaui batasan kewenangannya, tidak menimbulkan konflik kepentingan, tidak jadi bagian dari memperdagangkan pengaruh. Terakhir, tidak tergolong dari upaya tindak pidana pencucian uang.
Sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi menegaskan hak diskresi kepala daerah yang diatur dalam RUU Pemda ada batasannya, sehingga tidak menjadikan setiap kepala daerah kebal hukum.
“Dikresi itu ada batasannya dan diatur agar apa yang dikeluarkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan inovasi) tidak melanggar hukum, jelas Gamawan, selasa (23/4).
Sejumlah kekhawatiran yang muncu1 dengan diaturnya hak diskresi itu, antara lain kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Pada Pasal 269 RUU Pemda, yang saat ini masih dibahas di DPR, disebutkan bahwa dalam
ha1 pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan pemda dan inovasi tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana.
Klausul itu diasumsikan bahwa kepala daerah dapat kebal terhadap hukum dan bisa berlindung di balik alasan inovasi atas perbuatan korupsi.
Selain itu, pasal itu bisa digunakan sebagai upaya berlindung dari hukum bagi para kepala daerah. “Ini (menyangkut) kreativitas, artinya kepala daerah berani menerobos inovasi tanpa korupsi. Tapi ketika suap terjadi, itu bukan inovasi,”jelasnya. (dikutip dari Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei 2013 hal. 8, klik disini)