Jakarta sebagai ibu kota RI kembali diperingati hari lahirnya. Tahun ini memasuki usia 486 tahun, usia yang tergolong tua. Jakarta adalah kebanggaan bersama bangsa Indonesia.
Kota ini menjadi barometer kemajuan bangsa Indonesia. Alih-alih memperingati kelahirannya, tahun 2013 adalah unik karena dibuka dengan persoalan banjir yang membawa bangsa Indonesia memikirkan bagaimana perbaikan manajemen pemerintahan kota tersebut. Menjelang persiapan peringatan, kita semua malah disuguhi lelucon dari anggota DPRD Provins iDKI Jakarta yang berniat menginterpelasi Gubernur Joko Widodo.
Tapi, kesahajaan Gubernur menghadapi isu ini ternyata meluluhkan niat interpelasi tersebut. Kita juga disuguhi kisruh penanganan banjir yang membutuhkan tenaga ekstra dari petinggi DKI, khususnya Wakil Gubernur Ahok, sangat menarik perhatian publik. Tampak, inilah yang perlu direnungi secara serius untuk kepentingan perkembangan pengelolaan DKI dalam rangka kemajuan Indonesia.
Terobosan Otonomi Khusus
Jakarta kini tertinggal dari Kuala Lumpur dan Bangkok dari banyak segi yang semula kedua kota bahkan sempat di belakang Jakarta. Keberadaan demikian ternyata belum juga mengubah kemauan dan kemampuan bangsa Indonesia untuk mengelola Jakarta lebih baik. Apakah bangsa Indonesia menunggu semua negara ASEAN berada di depan, baru kemudian kita akan tergopoh-gopoh menyusulnya? Tentu tidak seperti itu harapan kita.
Kita amat bangga dengan nilai demokrasi yang melebihi bangsa lain dalam lingkup ASEAN. Namun kita terperosok, bahkan hanya dengan satu barometer, yakni kemajuan ibu kota negaranya. Kota Jakarta adalah jendela bagi bangsa Indonesia dan teras bagi bangsa lain melihat Indonesia. Jika Jakarta dilihat buruk, tentu bangsa lain akan melihat bangsa Indonesia cenderung buruk, bahkan bisa jadi lebih buruk.
Kecepatan pengambilan keputusan dan implementasinya yang merupakan respons dari dinamika lingkungan adalah kata kunci yang dibutuhkan kota ini untukperbaikan. Kota Jakarta masih tergolong lamban dalam soal tersebut. Meskipun diatur dengan kekhususan, kota ini ternyata tidak lebih dari provinsi lain karena memang dibuat dengan derajat dan bentuk otonomi berupa provinsi.
Provinsi dengan kekhususan, itulah bungkus proses pengambilan keputusan dan implementasinya bagi warga kotanya. Bungkus kekhususan hanya tinggal bungkusnya saja. Kota ini dikepalai gubernur yang nyaris sama dengan gubernur- gubernur lain di seluruh provinsi di Indonesia meskipun tantangan dan dinamika kotanya amatlah kontras. Kota ini juga dibekali sistem keuangan negara dan sistem kepegawaian negara yang sama dengan provinsi lain di Indonesia.
Apa yang membuat khusus, hanya satu, yakni kabupaten dan kota madya di bawahnya tidak berotonomi alias otonominya diletakkan di provinsi. Jadi otonominya besar. Namun, desain dan perilaku otonominya sama dengan provinsi lain. Joko Widodo setengah mati mengatasi soal banjir, macet, dan sampah dengan perilaku otonomi seperti di atas. Mungkin sebelum menjabat sebagai gubernur, hal ini sudah diketahui. Namun, karena amanah, hal itu harus tetap dijalani.
Juga mengenai gubernur DKI tidak berbeda dari gubernur lain pun sudah diketahuinya, justru dengan pintu pilkada langsung Jokowi berhasil masuk menjadi gubernur DKI. Tidak ada hubungannya antara membaiknya keadaan Kota Jakarta dengan mekanisme pilkada langsung. Jakarta membutuhkan proses yang serbacepat dan akurat. Jakarta tidak dapat 100% independen dalam mengatasi masalah-masalahnya.
Masalah Kota Jakarta adalah masalah interdependensi dan melibatkan seluruh komponen bangsa Indonesia. Jakarta tidak membutuhkan sekadar otonomi. Jakarta membutuhkan lembaga yang merupakan cerminan keinginan bangsa Indonesia, tetapi tetap dalam koridor kejelasan hukum. Jakarta membutuhkan pemimpin yang kuat, tetapi tetap dalam nilai demokrasi nasional. Jakarta membutuhkan lembaga yang khas, tetapi dalam koridor hukum nasional yang berkualitas global.
Jakarta juga membutuhkan terobosan tidak sekadar lembaga yang sekarang masih terpelihara. Meski bukan sekadar otonomi, bukan berarti tanpa pemerintahan. Jakarta tetap memiliki pemerintahan yang khas kotanya. Jakarta harus merupakan resultante keinginan bangsa Indonesia, bukan semata masyarakat dengan domisili Jakarta. Warga Jakarta tidak akan sanggup sendirian mengatasi masalah kotanya.
Sosok pemimpin Jakarta tidak perlu diambil dari proses pilkada langsung. Jakarta memerlukan sosok dengan kekuatan pengimbang antara keinginan berbagai pihak secara nasional. Pilkada langsung hanya membuat beban keuangan Jakarta membengkak. Jakarta hanya menjadi bulan-bulanan cukong dan akan terus menjadi panggung kota yang transaksional. Pilkada langsung hanya menjadi ukuran bagi pemain-pemain politik nasional yang ingin berkontes menjadi presiden.
Jakarta cepat atau lambat akan dilupakan oleh para pemain tersebut. Jika tetap dengan pilkada langsung, Jakarta akan tetap menderita. Proses politik dan administrasi kota ini akan tetap loyo dan tidak cukup kuat menghadapi pemain nasional dan internasional yang malangmelintang di kota ini. Mafia kota ini makin menggurita. Momen memperingati hari jadi Kota Jakarta tahun ini menjadi ukuran bangsa Indonesia, mampukah berpikir out of the box agar tidak dinilai sebagai bangsa yang lamban mengatasi kompleksitas permasalahan ibu kotanya.
IRFAN RIDWAN MAKSUM
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik FISIP-UI dan
Anggota DPODRI, Board dari PATTIRO