Otonomi Tergadai RUU

otonomi-1-big

SAAT ini DPR sedang menggodok berbagai rancangan UU (RUU). Terdapat lima RUU yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan otonomi. Yaitu, RUU pemerintahan daerah, RUU desa, RUU pilkada, RUU hubungan keuangan pusat daerah (HKPD), dan RUU aparatur sipil negara (ASN).

Idealnya, lima RUU itu berjalan harmonis, kompak, dan sinergis agar masing-masing kebijakan dapat berjalan efektif, terutama dalam pelaksanaan otonomi daerah, ujung tombak pemerintahan RI. Jika tidak, efektivitas pemerintahan bisa terganggu.

Dari pengamatan akademik, masing-masing memiliki paradigma berbeda. Dalam pemerintahan daerah, Indonesia telah lama mengadopsi sistem prefektur terintegrasi. Sistem itu dianut sepanjang masa Hindia Belanda, dilanjutkan zaman Jepang. Sistem tersebut tidak dianut pada masa kemerdekaan hanya pada masa berlakunya UU No 1/1957 yang diganti dengan UU No 18/1965. Pada saat itu juga, Indonesia menganut pilkada langsung yang menyulut pecah kongsinya Bung Hatta dan Bung Karno. Di luar masa tersebut, Indonesia menganut sistem prefektur yang mengenal adanya wakil pemerintah.

Sistem prefektur tidak dibarengi pilkada langsung. Pilkada, baik langsung maupun tidak, pada sistem itu hanya dianut Jepang pada masa 60-an, untuk memastikan kepala daerah diterima masyarakat atau tidak, selain harus memenuhi kriteria lain untuk menjadi kepala daerah terpilih.

Dari sudut pandang ini, terjadi konflik antara RUU pemda dan RUU pilkada. Secara akademik, dapat diprediksi konflik tersebut menyulut kegamangan pemerintahan di level peraturan perundangan dan praksis. Negara yang tidak menjalankan sistem prefektur juga tidak semua mengadopsi pilkada langsung sebagai satu-satunya kriteria penetapan kepala daerah.

Terkait dengan desa, pemerintahan daerah merupakan bangun formal struktur negara yang jelas terakomodasi secara organisatoris. Desa, dalam konsep the founding fathers, adalah otonomi informal (kaki). Materi RUU desa menyistematisasi desa dalam struktur negara melalui sektretaris desa. Perbenturan antara RUU pemda dan RUU desa tidak terasa dalam level paradigma, tetapi membawa struktur formal amat rumit, bahkan terbebani. Perbenturan yang terjadi adalah inkonsistensi pandangan mengenai desa dengan apa yang tertuang dalam kedua RUU. Kerumitan tersebut juga membuat ranah praksis kelak bermasalah.

Perlu Harmonisasi

Perbenturan paradigmatis berikutnya adalah dengan RUU ASN. Di dunia ini, pengelolaan SDM pusat dan daerah selalu memperhatikan kotak besar organ negara yang terpisah karena desentralisasi. Kotak organ negara yang diperhatikan adalah adanya organ pemegang political authority. Sumber daya manusia negara terpisah menjadi dua, yakni lokal dan nasional.

Akibatnya, terdapat tiga sistem besar paradigmatis pengelolaan SDM daerah. Yakni, pertama, terpisah (separated system), kekuasaan penuh pengelolaan SDM mulai A sampai Z ada pada daerah otonom. Pusat membuat code of conduct untuk dipatuhi sekaligus mengawasi.

Dalam sistem tersebut, pegawai daerah tidak diperkenankan pindah antardaerah dan apalagi menjadi pegawai pusat. Tidak ada unit di pusat yang mengelola manajemen teknis SDM daerah. Semua urusan manajemen SDM diatur dan diurus daerah otonom. Manajemen SDM pusat dalam sistem ini, dengan demikian, memiliki jalur tersendiri. Tampak RUU ASN tidak menganut sistem itu.

Sistem kedua adalah sistem kesatuan (unified). Dalam sistem tersebut, terdapat unit di pusat yang bersifat independen yang dibentuk daerah-daerah otonom untuk mengelola manajemen teknis seluruh pegawai daerah otonom dalam negara yang bersangkutan. Pegawai daerah diperkenankan pindah antardaerah otonom, tetapi tidak menjadi pegawai pusat.

Urusan A sampai Z dikelola unit tersebut. Pemerintah pusat kembali membuatkan code of conduct dan pengawasannya. Pegawai pusat memiliki manajemen tersendiri dan memiliki badan pengelola tersendiri. Tampaknya, RUU ASN juga tidak menganut sistem tersebut.

Sistem ketiga adalah sistem terintegrasi (integrated). Dalam sistem ini, pegawai pusat dan pegawai daerah diatur dan diurus oleh sebuah badan di bawah pemerintah pusat. Daerah otonom memiliki wewenang yang sangat kecil dalam manajemen kepegawaian daerah.

Kembali RUU ASN tampak tidak dengan jelas menganut sistem itu. Kotak SDM daerah dan pusat tidak tegas. Siapa atasan manajemen SDM tidak diperhatikan. Sejauh mana wewenang daerah otonom tidak jelas. Dapat dikatakan, RUU ASN tidak memiliki paradigma apa pun dari sudut kepentingan daerah otonom. Sungguh dapat merancukan otonomi daerah.

Terkait dengan RUU HKPD, dianut campuran antara paradigma yang ingin menguatkan sumber keuangan sendiri dalam daerah otonom (perimbangan keuangan) dan paradigma yang mengandalkan kemampuan pengelolaan pelayanan publik tanpa memperhatikan dari mana sumber keuangannya (hubungan keuangan).

Jika dibenturkan dengan RUU pemda, tampak persoalannya lebih bersifat teknis dalam jalur-jalur instrumen pemerintahan. Karena itu, sepanjang instrumen yang dibuat masuk akal, bisa diperkirakan dapat mendorong harmonisasi dan sinergitas antar kedua RUU.

Yang jadi permasalahan adalah termuatnya sistem pembagian urusan yang tidak jelas dalam RUU pemda, sedangkan RUU HKPD beraliran ”money follow function”. Dapat diprediksi, kesulitan muncul mengukur kebutuhan uang daerah yang riil menuruti materi kedua RUU kelak jika dilaksanakan.

Perbenturan keras adalah ketika pelaksanaan UU. Perbenturan RUU masih dapat didiskusikan di gedung DPR. Perbenturan pelaksanaan jika RUU tersebut kelak menjadi UU dapat bernuansa pelanggaran hukum sampai ketidakefektifan pemerintahan. Korbannya adalah masyarakat banyak. Perbenturan tersebut bersifat sistemik.

Melihat perbenturan tersebut, langkah harmonisasi harus dilakukan, bukan soal bunyi pasal saja, tetapi sejak pilihan paradigma kelima RUU. Pemerintah dan DPR harus duduk bersama agar keputusan yang diambil tidak menyimpan masalah. (Tulisan Prof Irfan Ridwan Maksum; Guru besar Ilmu Administrasi Publik FISIP-UI, Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) RI. JAWA POS, 28 Mei 2013)

Scroll to Top
Skip to content