Pencegahan korupsi di daerah harus dimulai dengan menyinkronkan aturan perundangan yang berkaitan dengan otonomi daerah.
RANCANGAN UndangUndang (RUU) tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang sedang dibahas pemerintah dan DPR dinilai berpotensi menyuburkan praktik korupsi di daerah. Salah satunya tampak dari ketentuan Pasal 47 RUU itu yang mengatur tentang syarat umuk menjadi calon kepala daerah. Pasal itu menyebutkan calon memiliki daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan.
Menurut peneliti Pusat Telaah dan lnformasi Regional (PATTIRO), Sad Dian, aturan tersebut dapat menjadi celah korupsi. “Syarat ini tidak efektif dan tidak memiliki kekuatan cukup untuk meminimalisasi korupsi. Daftar kekayaan pribadi lebih baik diubah menjadi laporan kekayaan pribadi,” katanya dalam diskusi bertajuk Melawan Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang, di Jakarta, kemarin. Perubahan frasa ‘daftar kekayaan pribadi’ menjadi ‘laporan kekayaan pribadi’ kata dia, dimaksudkan agar calon tidak hanya menyampaikan daftar kekayaannya, tetapi juga wajib menyampaikan asal muasal kekayaan tersebut.
Berdasarkan data Pattiro, sebanyak 50% dari 500 kepala daerah terlibat korupsi. Dengan begitu, berarti 50% kepala daerah tidak mampu mengelola pemerintahan secara bersih.
Dari aspek berbeda, staf ahli Kemendagri Reydonnyzar Moenek melihat terdapat distorsi pemaknaan UU, dan hal itu sering menjadi masalah utama dalam implementasi aturan perundangan di daerah. Contohnya, Pasal 18 ayat (1) UUD menyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis.
“Dalam implementasimya, ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam UU dengan menyatakan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat,” ungkap Reydonnyzar.
Dengan pemilu kada langsung tersebut, sambungnya, calon kepala daerah harus merogoh koceknya lebih dalam agar bisa terpilih. “Biaya ikut pemilu kada bagi satu calon gubernur itu sekitar Rp30 M s.d. RplOO M. Bahkan, ada yang mencapal Rp200 M,” ujarnya.
Kenyataan itu, imbuhnya, kemudian mendorong kepala daerah terpilih melakukan korupsi. “Pendapatan gubernur dalam lima tahun kira-kira Rp3,5 M. Padahal, biaya yang dikeluarkan jauh lebih daripada itu. Untuk mencegah hal tersebut, Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK, Roni Dwi Susanto berharap agar penyusunan UU harus lebih cermat sehingga dapat mengeliminasi celah terjadinya tindak pidana korupsi.
Ia menambahkan, KPK melakukan deteksi dini terhadap orang-orang, sistem, dan sektor yang diduga berpeluang menimbulkan korupsi.
Dalam kaitan itu pula, Pattiro menilai ada lima RUU yang tumpang tindih sehingga desentralisasi belum memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu, lima RUU perlu diharmonisasi.
Kelima RUU yang dinilai tumpang tindih tersebut ialah RUU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), RUU Aparatur Sipil Negara (ASN), RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada), dan RUU tentang Desa. (dikutip dari Koran Media Indonesia hari Jumat, 12 Juli 2013).