Pekerjaan sebagai kader pos pelayanan terpadu yang menjadi ujung tombak program kesehatan di desa oleh sebagian orang dilakukan sebatas menjalankan kewajiban tugas semata. Dalam bekerja, mereka relatif bersikap pasif. Kondisi tersebut menyebabkan Program Makanan Tambahan untuk menekan gizi buruk pada anak berusia di bawah lima tahun yang ditangani para kader dapat dikatakan “jalan di tempat”.
Komunikasi para kader pos pelayanan terpadu (posyandu) dengan instansi teknis terkait program itu pun buntu sehingga penggunaan anggaran Program Makanan Tambahan (PMT) juga kurang transparan. Walhasil, kader posyandu seolah hanya menurut apa yang “diperintahkan” instansi berwenang.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Rosita Chandra Komala (46 tahun), salah seorang kader posyandu Warga Dusun Kota Baru, desa Rato, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu mampu membuka keran kebuntuan tersebut. Chandra, panggilannya, justru berhasil mendorong semangat para kader posyandu lainnya untuk bekerja aktif.
Tidak hanya ucapannya tentang bekerja secara aktif yang didengar kader posyandu lainnya, tetapi ide dan gagasan Chandra untuk perencanaan pembangunan kesehatan pun diwujudkan. Dia juga dipercaya mengelola dana PMT di sejumlah desa.
Berawal saat Chandra, selaku kader posyandu, mempertanyakan anggaran PMT kepada salah satu instansi teknis pembina posyandi di Pemerintah Kabupaten Bima. Waktu itu, dia sekaligus meminta agar pengelolaan dana anggaran untuk PMT dapat diserahkan kepada para kader yang langsung berada di lapangan. Sikapnya itu membuat sebagian jajaran Pemkab Bima seakan “kebakaran jenggot”.
“Saya sempat dituduh macam-macam, tetapi saya tak peduli. Saya biarkan saja. Toh tujuan saya agar PMT berjalan efektif dan kerja kader punya gereget. Hasilnya pun pasti lebih nyata dirasakan masyarakat,” ujar Chandra, anak ke-6 dari sembilan bersaudara pasangan Baso Yusuf dan Hj Rusmini itu.
Chandra merasa percaya diri sebab langkahnya itu demi memperbaiki kinerja para kader yang hanya melaksanakan tugas standar di posyandu, yakni mendaftar, menimbang, dan mencatat kondisi bayi.
Sementara penyuluhan kepada ibu-ibu jarang mereka lakukan. Misalnya, kader seharusnya memiliki informasi dari sang ibu yang berat badan anak balitanya (berusia di bawah lima tahun) tetap atau berkurang, juga menanyakan apakah anak balita mereka pernah sakit batuk dan pilek.
Semua itu tidak dilakukan kader. Hal itu berakibat pada lemahnya identifikasi masalah dan kurang akuratnya data mengenai penyebab kasus kurang gizi dan gizi buruk anak balita di tempat itu. Padahal, informasi tersebut perlu dicatat dalam kartu menuju sehat.
Ibu enggan datang
Ekses lainnya adalah ibu-ibu yang anak balitanya menderita gizi buruk enggan datang ke posyandu karena khawatir dimarahi kader. Sebagian ibu lainnya merasa malu karena anak balitanya kurang sehat.
Padahal, apabila identifikasi masalah tersebut berjalan baik, kasus gizi buruk balita dapat segera dirujuk ke puskesmas untuk mendapatkan pelayanan medis yang memadai.
Kondisi tersebut diperburuk dengan kurang transparannya anggaran PMT. Bahkan, puskesmas mematok standar baku bahan asupan gizi berupa bubur kacang hijau meskipun telah diketahui bahwa desa tersebut kaya dengan potensi sayuran, ikan, dan produk hasil bumi lain yang dapat dijadikan bahan asupan gizi.
Pengadaan bahan untuk PMT juga disuplai puskesmas. Sementara para kader posnyandu bertugas mengolahnya menjadi makanan siap santap. Sayangnya, tak jarang kondisi kacang hijau pun kurang layak konsumsi, seperti berkutu dan berulat.
Chandra pun berupaya mencari tahu mengapa hal itu terjadi. Dia juga mendapatkan Dokumen Penggunaan Anggaran (DPA) Dinas Kesehatan Bima 2011. Dari DPA itulah dia mengetahui bahwa untuk PMT ada dana Rp 100.000 per bulan bagi setiap posyandu. Di Kecamatan Bolo ada 54 posyandu dengan sasaran PMT sebanyak 60-70 orang.
Para kader kemudian dia ajak menghitung jatah dana untuk setiap posyandu dengan bahan baku PMT berupa kepala, gula, dan kacang hijau yang diterima. Hasilnya didapatkan angka Rp 60.000-Rp 64.000 sehingga ada selisih setidaknya Rp 36.000.
Selisih tersebut sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk mengoptimlkan pemenuhan gizi balita. Hal itulah yang membuat jajaran instansi berwenang seakan “kebakaran jenggot”. Apalagi, informasi itu juga beredar di antara Satuan Kerja Pemerintah Daerah Provinsi NTB dan kalangan DPR.
Mendapatkan perhatian
Apa yang dilakukan Chandra tersebut semata untuk menjadikan para kader posyandu agar lebih percaya diri, membangkitkan daya kritis mereka, dan bertanggung jawab atas pekerjaannya.
Upayanya itu mendapatkan perhatian sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Mereka pun mendapatkan pelatihan pengolahan aneka bahan makanan lokal. Pada tahun 2012, Pemprov NTB pun membantu mereka dengan mengalokasikan dana Rp 3 juta per posyandu. Semua itu dimaksudkan untuk menyukseskan program menekan angka kematian ibu sampai nol.
Pada tahun itu pula, lewat Gerakan Perempuan Peduli Desa dan Forum Komunikasi Kader Posyandu, para kader juga dipercaya mengelola dana PMT. Efek gandanya dirasakan para ibu rumah tangga. Mereka semakin mampu memilih makanan sehat, lebih beragam, berimbang, dan bergizi bagi keluarganya.
“Di posyandu tempat saya bertugas, tak ada lagi balita gizi buruk. Sementara di desa Rato, dari tujuh posyandu, tinggal satu dua anak saja yang bergizi buruk,” kata Chandra tentang perkembangan kesehatan balita yang jauh lebih baik dibandingkan tahun 2003. Saat itu, di Kabupaten Bima, sekitar 30 persen kesehatan balita ada di “garis merah” alias menderita gizi buruk.
Namun, perkembangan itu tak membuat Chandra puas. Sebab, masih sedikit kader posyandu yang mendapatkan pelatihan hanya dua orang per desa dari sekitar 30 kader posyandu di tiap desa. Dana PMT juga belum memadai untuk menekan angka balita bergizi buruk dengan cepat.
“Masalah dana sudah saya sampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Millenium Development Goals tahun 2012 di Jakarta. Hanya dengan segelas bubur kacang hijau per bulan, mustahil memperbaiki gizi balita seketika,” ujar Chandra.
Gaya bicara yang tegas agaknya membuat Chandra dapat menularkan semangat kerja aktif dan energi baru bagi rekan-rekannya sesama kader posyandu.
Sumber:
Harian KOMPAS, edisi 14 Agustus 2013