Awal November 2013, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi kembali melansir berita yang memprihatinkan. Disebutkan Mendagri, saat ini, 309 Kepala Daerah terlibat masalah hukum. Akhir tahun 2012 lalu, Mendagri juga menyebutkan ada 290 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi (hukum). Berarti dalam rentang waktu kurang dari satu tahun, jumlah Kepala Daerah yang terlibat masalah hukum bertambah 19 orang, atau lebih dari 1 orang setiap bulannya jika dirata-rata. Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) mengindikasikan tingginya tingkat kepala daerah yang terlibat masalah hukum diakibatkan keberadaan Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) UU 32 tahun 2004 cukup kuat dalam membentengi keberadaan kepala daerah untuk meredam atau terhindar dari tindakan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum. Hal tersebut terlihat dari prosedur perijinan yang wajib ditempuh oleh penegak hukum yang sebenarnya menyulitkan Aparat Penegak Hukum. Setidaknya ada dua tahap yang harus dilalui penegak hukum dalam menangani perkara hukum yang melibatkan kepala daerah. Tahap pertama, aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden tatkala akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah (lihat Pasal 36 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004). Tahap kedua, aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden tatkala akan melakukan penahanan terhadap tersangka kepala daerah (lihat Pasal 36 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004).
Keberadaan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No 32 Tahun 2004 seperti menjadi benteng berlapis bagi para kepala daerah, sehingga merka merasa aman dan nyaman untuk melakukan berbagai tindakan yang melanggar hukum. Seperti tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan/atau pencucian uang. Benteng berlapis tersebut membuat unsur jera dari penegakkan hukum terhadap kepala daerah menjadi tereduksi. Dan bahkan tidak diperhitungkan sama sekali.
Para pegiat anti korupsi sudah mengajukan uji materi terhadap Pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Atas uji materi tersebut, Mahkamah Konstitusi, dengan Putusan Nomor : 73/PUU-IX/2011, telah menyatakan, menetapkan, bahwa persetujuan tertulis dari Presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan kepala daerah “tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup.” Maka dinyatakan Pasal 36 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 inkonstitusional, sehingga tidak lagi memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menerima secara bersyarat Pasal 36 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004. Yakni menerima adanya persetujuan tertulis dari Presiden untuk penahanan terhadap kepala daerah, dengan batas waktu 30 (tiga puluh) hari. Mengurangi jumlah hari yang sebelumnya mencapai 60 (enam puluh) hari. Menurut Mahkamah Konstitusi, persyaratan persetujuan tertulis Presiden atas proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang dimanfaatkan untuk menghapus jejak kejahatan atau penghilangan barang bukti.
Demikian pula, untuk persyaratan persetujuan tertulis Presiden, untuk penyidikan, persyaratan persetujuan tertulis tersebut akan menghambat proses hukum, yang seharusnya cepat, sederhana, dan berbiaya ringan dan tidak menghalangi aparat menjalankankan tugasnya. Izin tertulis Presiden ini tidak memiliki rasionalitas hukum cukup, dan akan memperlakukan warga negara berbeda di mata hukum. Seringkali juga ada kekhawatiran, pejabat yang terduga terlibat kasus akan berusaha dengan berbagai cara agar permohonan izin pemeriksaan dari Presiden tidak keluar. Baik dengan “menghadang” di tingkat penyidik maupun pada tingkat proses lainnya.
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 73/PUU-IX/2011, seharusnya, Pemerintah menaati dan melaksanakannya. Upaya perlawanan Pemerintah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, sama artinya dengan Pemerintah melawan dan melanggar Konstitusi.
Namun pada kenyataannya, rasa aman dan nyaman para kepala daerah ini akan terus dipertahankan oleh Pemerintah. Keberadaan Pasal 36 UU No 32 Tahun 2004 akan tetap dipertahankan dan akan dimunculkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) yang sedang dibahas Pemerintah bersama DPR saat ini.
Pasal 75 RUU Pemda memiliki materi muatan yang sama persis dengan Pasal 36 UU No 32 Tahun 2004, dengan sedikit perubahan. Perubahan terjadi pada penghilangan kata “penyelidikan” dan menambahkan dua ayat tentang: (i). Instansi penegak hukum yang berhak mengajukan permohonan persetujuan tertulis kepada Presiden; dan (ii). Kewenangan memberikan pertimbangan oleh Menteri kepada Presiden. Pencantuman kembali materi restriksi penyidikan terhadap kepala daerah ke dalam RUU Pemda menunjukkan bahwa Pemerintah berniat dan bersikap untuk melawan Konstitusi. Niat dan sikap perlawanan Pemerintah terhadap UUD 1945 tersebut ditunjukkan dari pengabaian Pemerintah atas Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Maka untuk menghilangkan benteng berlapis yang memberikan rasa aman dan nyaman kepada para kepala daerah untuk melakukan perbuatan melawan hukum, PATTIRO mengingatkan, meyakinkan, dan mendorong agar DPR dan Pemerintah harus merubah substansi redaksional dari Pasal 75 RUU Pemda atau Paragraf Ketujuh, mengenai Tindakan Penyidikan terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah, dengan;
Pertama menghapus substansi pasal dan ayat yang telah dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat” dan “bertentangan dengan UUD 1945” oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedua, menyusun pasal atau ayat tentang Tindakan Penyidikan terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam RUU Pemda yang sesuai dan selaras dengan mandat Konstitusi yang telah ditetapkan, diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, pada Putusan Nomor : 73/PUU-IX/2011.
Ketiga, rumusan pasal atau ayat yang sesuai dan selaras dengan mandat Konstitusi, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi, adalah: (i). Tindakan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagai akibat dari penyidikan aparat penegak hukum diperlukan persetujuan tertulis dari Presiden; (ii). Dalam hal persetujaun tertulis untuk penahanan tidak diberikan dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, penahanan dapat dilakukan.
Jakarta, 14 November 2013
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person: Adnan Rahmadi | Communication Officer
adnan@pattiro.org | 081 808 240105
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) adalah organisasi non profit yang mendorong terwujudnya tata pemerintahan lokal yang baik, transparan, dan adil bagi kesejahteraan sosial masyarakat. PATTIRO, yang didirikan pada 17 April 1999 di Jakarta, bergerak di bidang riset dan advokasi dengan fokus pada isu local governance, terutama desentralisasi. Fokus Area PATTIRO terdiri dari perbaikan pelayanan publik (public service delivery improvement); reformasi kebijakan publik (public policy reform); dan refomasi pengelolaan anggaran publik (public finance management reform).
(untuk lengkapnya silahkan lihat www.pattiro.org)