Akhir Oktober 2013, Annual Summit Open Government Partnership (OGP) di London, Inggris, telah mendudukan Pemerintah Republik Indonesia menjadi chairman OGP internasional hingga tahun 2015. OGP adalah sebuah gerakan keterbukaan pemerintahan dengan tujuan adanya tranparansi dan akuntabilitas terhadap pelayanan publik. Di Indonesia gerakan OGP dimotori oleh pemerintah dan bermitra dengan organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organization / CSO). Selain tansparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, jangkauan OGP juga tata kelola sumber daya alam suatu negara, misalnya tata kelola pertambangan. Indonesia menjadi negara yang bergabung di awal gerakan OGP dan dikategorikan sebagai salah satu negara inisiatif. Saat ini, sudah 61 negara yanng bergabung dalam gerakan OGP internasional.
Setahun terakhir Pemerintah bersama NGO anggota tim inti OGP Indoneseia menjalankan 3 (tiga) strategi program untuk menyukseskan gerakan OGP di Indonesia, yaitu :
- Penguatan dan percepatan program yang sedang berjalan, yaitu implementasi Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), karena UU KIP berkaitan langsung dengan tranparansi dan akuntabiltas pelayanan publik.
- Melaksanakan inisiatif baru/pilot project (proyek percontohan) OGP di tiga daerah yaitu di provinsi Kalimantan Tengah, Kota Ambon dan Kabupaten Indragiri Hulu. Pada proyek percontohan ini, yang dilakukan pemerintah adalah membuat open budgeting (transparansi anggaran publik), open school mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan tranparansi terutama dalam pengelolaan BOS dan penerimaan siswa baru dengan sistem online dengan menggunakan perangkat lunak, Serta Menjadikan beberapa situs website pemerintahan lebih terbuka dan menyediakan tranparansi informasi pelayanan publik yang mudah diakses masyarakat.
- Pengembangan portal keterbukaan informasi dan partisipasi publik sperti protral layanan publik (SatuLayanan.net), Portal transparansi badan publik (StauPemenrintahan.net) dan Portal peta terintegrasi (One map);
Agar gerakan OGP ini menghasilkan tujuan yang diharapkan, yaitu adanya tranparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, dibutuhkan peran masyarakat sipil (CSO) sebagai mitra pemerintah. Untuk itu, guna mendukung gerakan OGP Indonesia telah dibentuk tim inti (core team) OGP yang terdiri dari 7 (tujuh) perwakilan pemerintah dan 7 (tujuh) perwakilan masyarakat sipil (CSO) sebagai mitra (partnership). Tujuh perwakilan pemerintah, yaitu Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang bertindak sebagai Sekretariat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Komisi Informasi Pusat (KIP), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemPANRB). Sedangkan tujuh perwakilan masyarakat Sipil (CSO/NGO) yaitu Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Transparansi Internasional Indonesia (TII), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), , Indonesian Centre For Environmental Law (ICEL), Gerakan Anti Korupsi Aceh (Gerak Aceh), JARI Kalimantan Tengah, dan Komite Pemantau Legislatif Makassar (KOPEL) Makassar.
Harus diakui bersama bahwa CSO sebagai mitra dan bagian dari tim inti belum cukup optimal mengawal gerakan OGP di Indonesia. Misalnya dalam pelaksanaan prinsip partnership kesejajaran dengan perwakilan pemerintah. Peranan-peran NGO saat ini masih didominasi pada pelibatan walaupun beberapa inisiatif bahkan disepakati menjadi capaian yang berarti bagi kedua belah pihak sepeti Open Budget Index (OBI) atau inisiatif NGO yang akhirnya disepakati dan didukung kedua belah pihak seperti implementasi UU KIP melalui program pembimbingan dan pengawasan pemerintah daerah dalam penyediaan dan pelayanan informasi publik melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Namun masih terdapat pula program atau rencana aksi OGP Indonesia yang minim keterlibatan NGO. Sebut saja program transparansi pelayanan publik menyangkut pelaksanaan ibadah haji dan pernikahan di KUA pada Kemenag, atau tranpasansi pelayanan menyangkut SIM, STNK, BPKB dan SKCK di Kepolisian.
Pentingnya kesejajaran antara perwakilan CSO dengan pemerintah dan CSO membangun inisiatif OGP di masa depan. Forum dialog di antara tim inti OGP yang dilakukan dua bulan sekali, terus menerus perlu dioptimalkan sehingga bisa mengungkit partisipasi yang lebih luas dan lebih nyata. Dibutuhkan pula forum dialog yang membahas tranparansi dan akuntabilitas pelayanan publik dimana partisipasi masyarakat juga tidak dibatasi, siapa saja, asal jelas identitasnya bisa ikut berpartispasi. Forum diskusi tersebut harus dilakukan lebih intensif, hemat biaya, dan tiak terbatasi oleh ruang misalnya dengan menggunakan teknologi internet melalui diskusi online.
PATTIRO berpendapat bahwa sudah menjadi kewajiban Pemerintah dan CSO (NGO) yang terlibat dalam tim inti OGP Indonesia harus bisa menginisiasi keberadaan forum diksusi tersebut. Sebenarnya UKP4 sudah melakukannya dengan membuat sebuah situs sites bernama “LAPOR!” (http://lapor.ukp.go.id/), namun situs tersebut masih terbatas terutama model interaksi dengan masyarakat secara lebih mendalam. Alangkah baiknya situs tersebut dilengkapi dengan forum diskusi dunia maya yang bersifat lebih aktif dikelola bersama antara pemerintah dan NGO. Jika dikelola bersama, tentu akan meningkatkan daya ungkitnya terhadap tranparasnsi dan akuntabilitas informasi akan lebih terbuka dan akan meningkatkan keperayaan masyarakat.
Di sisi lain, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki, NGO juga memiliki kendala dalam mengawasi dan mengadvokasi tranparansi dan akuntabilitas pelayanan publik yang dijalankan oleh Pemerintah. Karena keterbatasan sumber daya, kerja NGO hanya terkonsentrasi pada bidang yang selama ditekuni. Sebagai contoh, PATTIRO yang selama ini bekerja di bidang kebijakan dan pelayanan publik di daerah, kerja PATTIRO lebih banyak ditujukan kepada Pemerintah Daerah, sementara di tingkat pusat dengan Kementrian Dalam Negeri. Begitu pula, dengan peran NGO yang lain, juga terbatas pada bidangyang ditekuni. Hal ini berakibat tidak semua program tranparansi dan akuntabiltas layanan publik yang dijalankan pemerintah dalam rangka OGP. Pada program tranparansi dan akuntabilitas layanan jamaah haji yang dijalankan pemerintah melalaui Kementrian Agama, menjadi relatif minim partisipasi NGO/CSO karena belum ada yang konsentrasi di situ. Demikian pula dengan tranparansi dan akuntabilitas layanan publik di Kepolisian. Untuk memaksa NGO untuk konentrasi di situ juga sulit, karena keterbatasan sumber daya. Keterlibatan NGO hanya berimbang imbang pada lembaga-lembaga dimana NGO berada ada di situ.
Model kemitraan (partnership) seperti di atas bisa mendorong terbangunnya model kemitraan yang lebih baik yang bisa menjadi contoh bagi negara lain anggota organisasi OGP Internasional. Dari tiga kali penyelenggaraan annual summit OGP internasional, belum terlihat satu model kemitraan yang baik antara Pemerintah dan NGO di semua negara. Sebagai chairman, Indonesia memiliki kesempatan membangun satu model kemitraan antara Pemerintah dan NGO yang baik. Meskipun model tersebut memiliki keterbatasan sehingga tidak bisa diterapkan di semua negara, namun jika kemitraan antara Pemerintah dengan NGO dan terbangun dengan baik di Indonesia, maka bisa menjadi contoh baik bagi negara-negara anggota organisasi OGP Internasional dalam membangun model kemitraan OGP di negaranya.
08 November 2013
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person: Adnan Rahmadi | Communication Officer
adnan@pattiro.org | 081 808 240105