Setiap tahun, tanggal 8 Maret dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial. Isu kesetaraan gender dan keberhasilan perempuan di bidang ekonomi politik dan sosial saat ini, khususnya di negara maju, sudah meningkatkan kesejahteraan perempuan di seluruh dunia. Bagaimana dengan kesejahteraan perempuan di Indonesia? Untuk wilayah perkotaan yang relatif sudah maju, perempuan Indonesia mungkin sudah sejahtera. Namun tidak dengan nasib perempuan di wilayah pedesaan. Kesejahteraan perempuan di Desa masih ‘jauh panggang dari api’ terutama dalam hal kesehatan.
Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, mengungkapkan Angka Kematian Ibu (AKI) meroket dari 228 pada 2007 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2012. AKI di pedesaan lebih tinggi di perkotaan, hal ini diakibatkan oleh tingginya disparitas pelayanan kesehatan antara perkotaan dan pedesaan terutama pada persalinan dan paska persalinan (Riskesdas 2010). Tidak memadainya transportasi dan fasilitas kesehatan yang ramah dan tanggap pada kesehatan ibu dan anak selalu menjadi penyebab utama tingginya AKI di pedesaan.
Disahkannya Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menumbuhkan harapan akan membawa penduduk di Desa bisa lebih sejahtera. Pasal 72 ayat (4) UU Desa menyebutkan, alokasi dana yang akan mengalir ke Desa ditetapkan paling sedikit 10% dari dana transfer daerah dalam Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN). Diperkirakan setiap desa akan menerima dana lebih dari Rp 1 miliar pertahun. Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) berpendapat, penambahan sumber anggaran tersebut seharusnya bisa memberikan efek fungsi Desa sebagai institusi publik yang memiliki akuntabilitas sosial. Pasal 4 UU Desa ayat (f) menegaskan, salah satu tujuan pengaturan desa adalah meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum. Karena itu, sangat penting keberadaan pengawasan pelayanan dasar di bidang kesehatan dan pendidikan di Desa.
Dengan adanya UU Desa, pemerintahan Desa wajib berpartisipasi dalam pencegahan kematian ibu dan bayi, seperti ikut membantu dalam pengadaan fasilitas-fasilitas kesehatan dan infrastruktur pedesaan sebagai bagian dari upaya pelayanan pencegahan. Kewajiban pemerintahan Desa ini telah diuraikan dalam pasal 67 UU Desa, dimana Desa berkewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa. Kewajiban ini diperkuat dengan hak masyarakat Desa yang tertuang pada pasal 68 UU Desa yaitu memperoleh pelayanan yang sama dan adil, sehingga pemerintahan Desa harus meningkatkan pelayanan dasar masyarakat yang berakuntabilitas sebagaimana tertuang dalam salah satu asas umum penyelenggaran tugas pemerintahan Desa yang tertuang pada pasal 24 UU Desa.
Persoalan Gender
Persoalan lain terkait perempuan yang akan dihadapi oleh UU Desa adalah kurangnya partisipasi perempuan dalam berbagai forum pertemuan musyawarah Desa. Berbagai studi mengungkapkan persentase perempuan di dalam Musrenbangdes (musyawarah perencanaan dan pengembangan desa) tidak pernah lebih dari 20%, kecuali di Aceh dengan adanya Musrenbangdes khusus perempuan. Secara kuantitatif, forum Musrenbangdes tidak menjadikan keterwakilan perempuan sebagai prasyarat partisipasi. Faktor teknis yang menjadi penyebab realitas ini adalah undangan disampaikan satu hari sebelumnya, pelaksanaan pertemuan tidak dijadwalkan dan mendadak, serta jam pertemuan dilakukan saat perempuan sedang sibuk di rumah.
Situasi problematik ini dihadapi oleh UU Desa yang mewajibkan masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan desa dan musyawarah yang tertuang dalam pasal 68. Partisipasi mengandung konten kesetaraan dimana setiap suara dalam pertemuan dinilai sebagai input warga negara, tidak melihat dari jenis kelamin. Namun di sisi lain, kendala dari perempuan yang telah hadir dalam forum adalah kapasitas pengambilan keputusan dan kontribusi perempuan dalam forum yang seharusnya lebih ditingkatkan, sehingga perempuan mampu merespon kebutuhan-kebutuhan strategis di dalam forum, dapat mewarnai dan mengintervensi Musrenbangdes dalam bentuk input kebijakan. Oleh karenanya, fungsi fasilitator desa yang responsif gender menjadi krusial dalam setiap pertemuan desa dan Musrenbangdes.
Pasal 54 UU Desa memberikan peran kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk memfasilitasi pembahasan, diskusi, dan koordinasi program-program strategis yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa melalui Musyawarah Desa. Hal ini menegaskan fungsi dasar BPD untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam rangka pelaksanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa yang tertuang pada pasal 55. Dengan demikian, keterwakilan perempuan dalam BPD menjadi point vital (sangat penting) untuk memastikan program-program strategis tersebut telah mengakomodir kebutuhan gender strategis yang dijalankan secara partisipatif dan berangkat dari aspirasi kelompok masyarakat tanpa logika mayoritas dan minoritas. Alasan lain dari pentingnya keterwakilan perempuan dalam BPD karena perempuan merupakan kelompok penerima manfaat langsung dari kebijakan BPD sekaligus kelompok yang paling memahami persoalan kesehatan ibu dan anak, ekonomi, dan sosial di Desa.
Oleh karena itu, menurut PATTIRO, yang harus dipastikan dari pasal 57 dan pasal 58 UU Desa adalah, anggota BPD merupakan wakil penduduk desa yang ditetapkan melalui musyawarah mufakat dan terdapat perempuan di dalamnya sehingga perencanaan yang responsif gender dapat diwujudkan. Agar memiliki kekuatan hukum tetap, keterwakilan perempuan dalam keanggotaan BPD harus dituangkan dalam sebuah regulasi. Untuk itu, PATTIRO meminta Pemerintah Daerah di Kabupaten/Kota mewajibkan adanya perempuan dalam keanggotaan BPD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana amanat yang tertuang pada pasal 58 ayat (1) dan pasal 65 ayat (2) UU Desa.
Selain itu, pasal 72 dan pasal 74 UU Desa memperlihatkan bahwa belanja desa dialokasikan untuk pembiayaan kegiatan pemerintah desa dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karenanya, kapasitas kritis yang harus dikuasai oleh pemerintah Desa, perangkat Desa, insitusi lokal, dan masyarakat Desa adalah pengetahuan dalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang besar dan otonom, sehingga dapat merespon kebutuhan gender secara transparan, kolaboratif dan partisipatif. Dengan demikian, pembangunan Desa yang berkeadilan dapat diwujudkan dan masyarakat Desa betul-betul merasakan manfaat dari UU Desa.
Jakarta, 5 Maret 2014
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person:
Iskandar Saharudin | Policy Reform Specialist
iskandar@pattiro.org | 0852 6045 0446
Cipta Latunreng | Gender Program Officer
andy.cipta@gmail.com | 0813 8138 3703
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) adalah organisasi non profit yang mendorong terwujudnya tata pemerintahan lokal yang baik, transparan, dan adil bagi kesejahteraan sosial masyarakat. PATTIRO, yang didirikan pada 17 April 1999 di Jakarta, bergerak di bidang riset dan advokasi dengan fokus pada isu local governance, terutama desentralisasi. (untuk lengkapnya silahkan lihat www.pattiro.org)