Keberadaan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) diharapkan membawa penduduk di Desa lebih sejahtera melalui 4 (empat) aspek utama, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan (Pasal 78 ayat 1). Untuk menunjang Pembangunan Desa tersebut, akan ada alokasi dana cukup besar yang mengalir ke Desa. Pada Pasal 72 ayat (4) ditetapkan paling sedikit 10% dari dana transfer daerah dalam Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) akan mengalir ke Desa. Berdasarkan simulasi anggaran, setiap Desa rata-rata akan menerima Rp 1,44 Milyar di tahun 2014.
Agar dana tersebut bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan penduduk Desa, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) berpendapat, perlu dibuat perencanaan yang matang untuk penggunaannya. Rencana tanpa anggaran adalah mimpi, dan anggaran tanpa rencana menciderai transparansi dan akuntabilitas serta rawan terjadi penyelewengan. Oleh karenanya, perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimandatkan pasal 79 dan pasal 80 menjadi faktor utama untuk dilaksanakan dengan baik, benar dan sederhana dalam prosesnya.
PATTIRO melihat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari perencanaan pembangunan Desa. Pertama, perencanaan pembangunan Desa harus bisa memayungi program-program prioritas peningkatan kesejahteraan dalam dokumen. Dengan adanya aliran dana sedemikian besar, sudah dipastikan Desa akan menjadi sasaran menarik bagi banyak kelompok kepentingan, baik dari internal Desa itu sendiri maupun dari luar, yang dapat “menunggangi” perencanaan pembangunan Desa sehingga tujuan utama yang menjadi cita-cita dari UU Desa itu sendiri tidak tercapai. Kelompok-kelompok ini akan saling mengklaim bahwa proposal program pembangunan Desa yang mereka ajukan paling baik dan tepat untuk dilaksanakan.
Meskipun pasal 80 ayat (4) sudah menetapkan prioritas, program, dan kebutuhan Pembangunan Desa, namun jika ada upaya baru yang belum terpayungi dokumen perencanaan desa maka perlu dilakukan forum review Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dalam menyusun rencana pembangunan Desa. PATTIRO menyarankan, upaya review dilakukan dengan memperhatikan faktor kerawanan yang mengancam kesejahteraan dan kerap terjadi di desa yaitu tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan. Dengan tujuan menekan faktor kerawanan dalam perencanaan, maka efek dari perencanaan pembangunan Desa akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
Hal penting berikutnya adalah, bagaimana upaya sinkronisasi rencana pembangunan Desa dengan rencana pembangunan di tingkat yang lebih tinggi, yaitu rencana pembangunan tingkat daerah dan nasional. Pasal 79 ayat (1) menegaskan perencanaan pembangunan Desa disusun dengan kewenangannya pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Adanya peran vital kabupaten/kota dalam menampung dan mencairkan dana desa setelah adanya proposal program dari Desa akan menimbulkan tantangan tersendiri. Beragamnya kapasitas kabupaten/kota dalam mendampingi Desa dapat berakibat pada pemanfaatan DAD (Dana Alokasi Daerah) di desa yang tidak sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan Kabupaten/Kota.
Wajah perencanaan Desa yang mampu mengungkit peningkatan kesejahteraan Desa, dimandatkan kepada Kepala Desa bersama perangkatnya. Permasalahannya adalah masih banyak Desa yang belum terlatih menyusun dokumen perencanaan pembangunan Desa. Untuk mengatasi persoalan ini, PATTIRO melihat dibutuhkan komitmen pemerintah dalam pemberdayaan Desa dalam bentuk kebijakan pemerintah tentang perencanaan dalam kaitannya dengan transfer dana. Alternatif kebijakan yang bisa diambil pemerintah antara lain; pertama, menggunakan perencanaan sebagai aspek yang membatasi akses masyarakat desa terhadap transfer dana. Artinya desa-desa yang tidak mampu menyusun dokumen tidak akan ditransfer alokasi dana yang menjadi haknya. Kebijakan ini akan secara efektif memaksa Desa membuat perencanaan namun perlu diwaspadai munculnya “broker–broker” penyusunan dokumen perencanaan yang mungkin akan diperankan oleh kaum terdidik yang tinggal di desa atupun oknum pemerintahan pada supra desa.
Alternatif kebijakan kedua adalah menugaskan pegawai yang menangani untuk melakukan pendampingan. Alternatif ini diatas kertas menampakkan komitmen pemerintah yang utuh dalam memberdayakan Desa. Namun jika sitem transparansi dan integritasnya tidak dikuatkan, maka tetap terbuka celah oknum mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Insentif secara formal bisa oknum tersebut dapatkan secara informal karena kedekatan dengan perangkat yang dibimbing. Hal ini juga akan membuka celah pencederaan integritas.
Alternatif kebijakan ketiga adalah, pemerintah menyediakan konsultan secara nasional atau mengoptimalkan program yang secara nasional telah berada di desa seperti program PNPM Mandiri Pedesaan. Alternatif ini sudah beberapa tahun diterapkan, namun harus dipastikan bahwa keberadaannya tidak hanya sekedar menjalankan rezim adminitrasi undang-undang, sehingga mampu mengungkit gagasan dan praktik cerdas masyarakat dalam menemu-kenali potensi dan permasalahan desa untuk diolah menjadi rencana pembangunan yang strategis.
Perencanaan desa juga harus mampu menguatkan modal sosial yang selama ini menjadi kekuatan desa. Tentu kita semua tidak berharap masuknya transfer uang ini memindahkan dan mereproduksi permasalahan di kota terjadi di desa dimana segala sesuatunya selalu dikonversi dengan uang. Dampak dari kesalahan pikir tersebut bisa berkelanjutan yang pada akhirnya menurunkan ketahanan masyarakat desa dalam menjalani kehidupan. Karena tidak lagi saling bantu-membantu dan tolong-menolong serta bergotong-royong dalam ikatan modal sosial desa.
Jakarta, 20 Maret 2014
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person:
Ahmad Rofiq | Monev Specialist
rofik@pattiro.org | 0813 9315 3564