Hari kesehatan dunia (world health day) yang diperingati di seluruh dunia setiap tanggal 7 April menyisakan pertanyaan penting terkait dengan tata kelola pemerintahan (governance) yaitu, sudahkah negara Indonesia yang bercorak negara kesejahteraan (welfare state) memenuhi hak kesehatan atas warga negaranya? Pemerintah selama ini memang banyak menggulirkan program kesehatan, baik dalam bentuk pengobatan murah dan gratis atau program kesehatan lainnya kepada masyarakat. Bahkan di awal tahun 2014, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 24,8 triliun, pemerintah menggulirkan program kesehatan yang bersifat menyeluruh (universal health coverage) yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun sayangnya, program-program kesehatan yang menyedot anggaran yang sangat besar seperti JKN, diragukan mampu memenuhi hak kesehatan masyarakat.
Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 mengungkapkan, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia meningkat tajam dari 228 pada tahun 2007 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2012. Setali tiga uang, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia juga masih cukup tinggi, yaitu mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup di tahun 2012. Hanya turun 6% dari tahun 2007 yang mencapai 34 per 1.000 kelahiran hidup. Terlihat dari pergerakan AKI dan AKB tahun 2007 ke tahun 2012, pemerintah Indonesia masih belum memenuhi hak kesehatan warga.
Menurut Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), tingginya AKI dan AKB di Indonesia disebabkan antara lain belum meratanya penyebaran tenaga kesehatan dan belum memadainya fasilitas kesehatan yang disediakan Pemerintah. Permasalahan ini diperparah dengan buruknya infrastruktur dan sarana transportasi di daerah, sehingga masyarakat sulit dan terlambat mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Dari pelaksanaan survey CRC (citizen report card) yang dilakukan PATTIRO di Kabupaten Timur Tengah Utara, provinsi Nusa Tenggara Timur pada Oktober 2013 lalu, tidak semua Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di kabupaten tersebut memiliki dokter. Hanya 41,7%% responden menyatakan di Puskesmasnya telah sesuai kebutuhan dokter. Sisanya adalah, pernyataan keberadaan dokter di Puskesmas tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu 40,8%, dan sekitar 17,5% responden menyatakan dokter tidak ada. Demikian pula dengan kecukupan dan kualitas tenaga kesehatan di Puskesmas. Sebanyak 58,3% responden menyatakan bahwa jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas jumlahnya kurang, dan sebanyak 58% responden menyatakan kualitas tenaga kesehatan di Puskesmas kurang sesuai.
Dari segi infrastruktur, menurut hasil survey, sarana yang paling sulit diakses oleh masyarakat adalah sarana transportasi (1,3%) dan bangunan sarana kesehatan (9,2%). Jika ada permasalahan, maka sarana yang lambat ditidaklanjuti adalah pelayanan transportasi (0,5%) dan pelayanan kesehatan (12,8%). Untuk itu, PATTIRO melihat ada 2 (dua) aspek penting yang perlu mendapat perhatian pemerintah, yaitu bagaimana memperbaiki pelayanan kesehatan dan bagaimana mempermudah akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Selain itu PATTIRO juga melihat, dalam menggulirkan program kesehatan untuk masyarakat, pemerintah cenderung memilih program yang populis daripada melihat manfaat dari program kesehatan yang digulirkan. Padahal, permasalahan kesehatan yang strategis di Indonesia, yaitu tingginya AKI dan AKB, tidak bisa diselesaikan dengan menggulirkan program kesehatan yang sifatnya populis dan universal (menyeluruh). Program kesehatan universal seperti JKN atau pengobatan gratis memang bagus dan bermanfaat untuk masyarakat, namun karena sifatnya terlalu luas dan tidak fokus, maka permasalahan kesehatan strategis seperti tingginya AKI dan AKB harus berbagi prioritas dengan isu kesehatan lainnnya.
PATTIRO berpendapat, untuk menurunkan tingginya AKI dan AKB, pemerintah bisa mengoptimalkan peran bidan untuk pemerataan tenaga kesehatan dan menyiasati kurangnya jumlah dokter terutama di daerah, untuk menangani ibu hamil hingga persalinan. Optimalisasi peran bidan bisa ditingkatkan dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan bidan dalam menangani ibu hamil hingga persalinan. Selain itu, untuk memberikan stimulus kepada bidan agar aktif melayani dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada ibu hamil khususnya dari keluarga tidak mampu, para bidan bisa diberikan insentif berdasarkan jumlah ibu hamil yang ditangani oleh bidan tersebut.
PATTIRO juga meminta pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan terutama di daerah. Peningkatan kualitas fasilitas kesehatan bisa dilakukan pemerintah dengan memangkas anggaran yang tidak perlu, seperti perjalanan dinas, untuk dialokasikan ke fasilitas kesehatan. Hal yang sama bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur dan sarana transportasi. Semua ini harus dilakukan pemerintah karena memajukan kesejahteraan umum dan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang dimandatkan pada pembukaan UUD 1945 menunjukkan bahwa Indonesia negara yang menganut paham Negara Kesejahteraan (welfare state). Konsekuensi atas negara kesejahteraan adalah pemenuhan hak-hak dasar bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, termasuk di dalamnya pemenuhan hak ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya), dimana hak atas kesehatan ada didalamnya. (***)
Jakarta, 4 April 2014
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person:
Ahmad Rofik | Monev Specialist
rofik@pattiro.org | 0813 9315 3564