[Jakarta, 21 Juli 2014] Pada 8 Juli 2014, dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Sidang IV, dengan agenda Pembicaraan Tingkat II Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), Pemerintah bersama DPR telah menyepakati untuk melakukan pergantian atas UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3, dari rencana semula yang hanya berupa perubahan.
Dengan demikian, maksud awal dari revisi atas UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3 itu telah berubah. Rencana awal, revisi ini dilakukan agar UU MD3 sesuai dengan Putusan MK. Setidaknya terdapat dua Putusan MK yang berkaitan dengan UU MD3 itu, yaitu: Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 mengenai penguatan kewenangan DPD dalam pembahasan legislasi, dan Putusan MK No. 35/PUU-XI/2013 terkait dengan pengurangan kewenangan DPR dalam pembahasan RAPBN.
Namun, dalam perkembangan pembahasannya, telah terjadi pembelokan agenda. Dan hal ini berpengaruh terhadap kelembagaan DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Meskipun secara umum susunan dan kedudukan dari kelembagaan dan keanggotaan DPRD tidak mengalami banyak perubahan, namun terjadi beberapa perubahan fundamental dari kerangka yang dibangun oleh UU No 27 Tahun 2009. Beberapa perubahan fundamental tersebut adalah:
1. Sifat rapat-rapat di DPRD tidak ada perubahan, yaitu setiap persidangan DPRD adalah terbuka, kecuali pada rapat-rapat tertentu yang dinyatakan tertutup (Pasal 342 dan Pasal 392 UU MD3 Tahun 2014).
Kecenderungan Penyusun UU untuk membangun rezim kerahasiaan, daripada rezim keterbukaan, nampak dari tidak dirubahnya klausula ini. Ketentuan mengenai “rapat tertentu yang dinyatakan tertutup: tidak diatur. Sehingga sangat bergantung pada kepentingan pimpinan dan anggota rapat tersebut.
Hal ini kontra-produktif dan berbanding terbalik dengan penilaian positif dari Masyarakat Internasional, seiring dengan kedudukan Indonesia sebagai chairman dari prakarsa global Open Government Partnership (OGP).
Tekad dan kebijakan Pemerintah sebagai chairman OGP bertentangan dengan kebijakan dan orientasi implementasinya di tingkat legislasi nasional. Selain itu, ada UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mesti dipedomani dan menjadi kerangka hukum dalam penyusunan setiap legislasi nasional.
PATTIRO mendesak Pemerintah dan DPR, serta DPD, sebagai Penyusun UU secara kolektif, harus konsisten dengan agenda Open Government Partnership (OGP). Konsistensi atas rezim keterbukaan dalam legislasi hanya dapat dibangun melalui perubahan klausula ini. Norma keterbukaan harus diangkat menjadi Azas UU MD3.
Jika ada pengecualian, karena kebutuhan mengadakan rapat yang bersifat tertutup, hal itu dilakukan karena terpaksa, dengan persyaratan yang ketat dan terbatas. Misalnya, rapat DPRD dapat dilakukan tertutup apabila membahas mengenai testimoni korban pelanggaran HAM berat, atau terkait dengan rahasia pribadi seseorang.
2. Penghapusan atau penghilangan klausula ‘menerima Gratifikasi” sebagai tindak pidana yang dilarang untuk dilakukan oleh Anggota DPRD (Pasal 350 ayat (3) dan Pasal 400 ayat (3) UU MD3 Tahun 2014).
Dapat diduga, penghapusan norma “larangan menerima gratifikasi” merupakan upaya dekriminalisasi atas gratifikasi oleh Penyusun UU. Tujuannya, untuk melindungi diri mereka sendiri, dan bahkan memberikan keuntungan material melalui jalur-jalur yang illegal.
Benturan norma dipastikan terjadi (conflict of norms), antara UU MD3 Tahun 2014 dengan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
PATTIRO mendesak kepada Penyusun UU agar mengembalikan norma “larangan menerima gratifikasi” sebagai unsur tindak pidana korupsi.
3. Penghapusan atau penghilangan klausula prosedur ijin pemeriksaan terhadap Anggota DPRD.
Temuan PATTIRO ini menimbulkan dua konsekuensi. Konsekuensi pertama, prosedur perijinan pemeriksaan terhadap Anggota DPRD dilakukan sesuai dengan KUHAP. Dengan kata lain, kedudukan Anggota DPRD tidak jauh berbeda dengan warga negara biasa.
Konsekuensi kedua, Anggota DPRD tidak dianggap sebagai Pejabat Negara. Benturan norma akan terjadi, antara UU MD3 2014 dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pada UU terakhir, seluruh pejabat penyelenggara negara adalah pejabat negara.
Bagi PATTIRO, Anggota DPRD adalah penyelenggara negara, pejabat negara, dikarenakan kedudukan dan peranannya sebagai anggota dari lembaga perwakilan rakyat, lembaga legislatif di tingkat daerah, yang merupakan bagian dari penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, PATTIRO mendesak Penyusun UU agar mengembalikan kedudukan Anggota DPRD sesuai dengan kerangka hukum UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3.
Dengan adanya temuan dan catatan PATTIRO tersebut, PATTIRO mendesak kepada DPR, DPD, dan Pemerintah agar:
- Memasukan agenda perubahan UU MD3 Tahun 2014 ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2015-2019, dan menjadikannya sebagai prioritas untuk dibahas pada Prolegnas Tahun 2015.
- Melakukan perubahan kembali atas UU MD3 Tahun 2014, terutama terkait dengan klausula-klausula pokok mengenai DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kebupaten/kota, yang telah disampaikan oleh PATTIRO di atas.
Apabila DPR, DPD, dan Pemerintah tidak menanggapi desakan masyarakat sipil ini, maka PATTIRO akan melakukan gugatan uji konstitusional (Judicial Review) terhadap UU MD3 Tahun 2014, terkait dengan materi-materi pokok yang menjadi keberatan PATTIRO.
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Jl. Intan No. 81. Cilandak Barat. Jakarta Selatan. Indonesia. 12430
Telepon: (021) 7591 5498; Faksimili: (021) 751 2503
Email: info@pattiro.org ; Website: www.pattiro.org
Twitter: @InfoPattiro ; Facebook: facebook.com/infoPATTIRO
Untuk Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi
Iskandar Saharudin | Policy Specialist
iskandar@pattiro.org | 0852 6045 0446
Riska Amelia Hasan | Communication and Press Assistant
riska@pattiro.org | 0821 1256 6552.