[Jakarta, 11 Juli 2014] – Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan tidak “cuci tangan” menyikapi adanya hasil hitung cepat yang saling bertentangan, dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
“KPU bisa membentuk Dewan Etik untuk lembaga survei sehingga diaudit oleh auditor publik yang independen dan mengumumkan hasilnya. Jika tidak dilakukan KPU harus mencabut sertifikatnya,” kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati, di Jakarta, Jumat (11/7).
Dirinya menyerukan hal itu mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Informasi Publik atau Freedom of Information Network Indonesia (Foini) yang terdiri dari gabungan beberapa LSM antara lain Pattiro, TII, Perludem, Fitra, IBC, dan PSHK.
Pihaknya meyakini, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik lembaga survei merupakan badan publik yang harus tunduk terhadap ketentuan dalam UU tersebut.
Salah satu ketentuan dalam UU Keterbukaan Informasi adalah memberikan informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Di dalam Pasal 55 UU tersebut menyebutkan, lembaga survei dan stasiun televisi yang terbukti memberikan informasi menyesatkan dapat dipidana.
Dengan begitu, selain penegak hukum, Komisi Informasi Pusat (KIP), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPU juga perlu mengambil sikap agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi publik berupa hasil survei yang menyesatkan.
Diketahui, terdapat delapan lembaga survei merilis hasil hitung cepat sementara yang hasilnya memenangkan pasangan nomor urut 2 yakni, Jokowi-Jusuf Kalla (JK) yakni, Litbang Kompas, RRI, SMRC, CSIS-Cyrus, LSI, LPI, Poltracking Institute, dan Populi Center.
Sementara, terdapat empat lembaga survei yang dalam hasil hitung cepatnya memenangkan pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta. Keempat lembaga survei tersebut adalah Puskaptis, JSI, LSN, dan IRC.
Buntut dari perbedaan hasil tersebut kedua pasangan calon saling mendeklarasikan kemenangan yang membuat Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) yang menanungi LSI, Indikator Politik Indonesia, SMRC, Cyrus, Populi Center, JSI, dan Puskaptis mengeluarkan pernyataan bakal mengaudit lembaga-lembaga tersebut.
KPU diharapkan bersikap dengan meminta auditor publik mengaudit lembaga survei yang tidak tergabung dalam Persepi dan mencabut sertifikatnya. Sebab, lembaga-lembaga survei yang ingin mengadakan hasil hitung cepat wajib mendaftar di KPU.
“Kami juga meminta KPU untuk menyiarkan atau mengumumkan hasil pemungutan suara di media massa secara serempak di Indonesia setelah pengumuman resmi hasil rekpaitulasi pilpres pada 22 Juli 2014,” jelasnya.
Sumber: https://www.beritasatu.com/nasional/196129-kpu-jangan-cuci-tangan-tindak-lembaga-survei.html