Pemetaan Masalah dan Jejaring
Persepsi Keterbukaan
Implementasi keterbukaan di daerah sudah cukup banyak dengan berbagai isu khusus yang didorong oleh CSO (Civil Society Organisation / Organisasi Masyarakat Sipil) di masing-masing provinsi sejak disahkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tahun 2008. Namun, dalam implementasinya, masih ditemukan hambatan dan resistensi di tingkat provinsi/kabupaten/kota oleh pemerintah dan aktor-aktor setempat.
Pemerintah masih bebal untuk mengimplementasikan keterbukaan informasi di daerah yang menunjukkan lambannya UU KIP di tingkat provinsi/kab/kota. Peran CSO dalam mendorong keterbukaan dirasa cukup besar melalui uji akses dan sengketa informasi seperti di provinsi Kalimantan Selatan yang didorong oleh POKJA 30 dan NTB oleh FITRA NTB. Selain uji akses, keberhasilan CSO dalam mendorong implementasi keterbukaan juga dapat dilihat di Provinsi Bali dan NTB di mana Sloka Institute dan FITRA NTB berhasil mengawal terbentuknya Komisi Informasi Provinsi di daerah masing-masing.
Tantangan
Ketertutupan yang dihadapi oleh aktor masyarakat sipil di daerah tidak hanya terbentur pada perilaku pemerintah tapi juga oleh partai politik dan universitas di setiap daerah. Lemahnya penegakkan hukum atas putusan Komisi Informasi juga dirasa menjadi kendala yang cukup menyulitkan sehingga sekalipun dalam sengketa informasi, pihak pemohon informasi telah dimenangkan gugatannya, pihak yang termohon menolak untuk memberikan informasi yang ada. Hal ini dapat ditemukan saat uji akses informasi ke partai politik oleh POKJA 30 di Kalimantan Timur dan uji akses ke universitas Mataram yang didukung oleh FITRA NTB. Penolakan pemberian informasi bahkan berlanjut ke sengketa informasi yang putusannya belum juga dituruti oleh pihak yang diminta informasi.
Hambatan lain yang ditemukan dalam implementasi UU KIP adalah kurangnya infrastruktur, baik dari adanya PPID, Komisi Informasi Provinsi, maupun akses geografis dan teknologi dalam meminta informasi bagi kaum rentan atau kelompok khusus. Contohnya seperti di Kalimantan Selatan di mana SK KI Provinsi sudah ada tapi belum juga dilantaik sampai hari ini.
Selain akses, perilaku pemerintah yang selalu beralasan tidak memiliki anggaran juga merupakan masalah yang merupakan dampak dari kurang pahamnya informasi mana yang boleh dibuka dan mana yang tidak. Ketidaksiapan kapasitas pemerintah serta kerumitan birokrasi yang ada saat meminta informasi juga menjadi bagian dari tantangan.
Kurangnya pemahaman oleh pemerintah, swasta, maupun penyedia pendidikan akan informasi sebagai hak milik publik juga ditemukan di berbagai tempat. Contohnya adalah saat ketakutan pemerintah ketika APBDes dipublikasikan, informasi yang ada akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum jahat. Keengganan pemerintah untuk mempublikasikan anggarannya ditemukan dari pemerintah tingkat desa, kab/kota hingga tingkat provinsi. Keengganan ini juga menunjukkan bahwa informasi merupakan aset yang enggan dibagikan oleh yang memilikinya karena keengganan mereka berbagi peran dengan masyarakat. Keengganan oleh pemerintah juga memberi dampak bagi CSO untuk memprioritaskan dampingan dan asistensi teknis bagi mereka yang sudah cukup terbuka, seperti yang dilakukan oleh PIAR NTT di Nusa Tenggara Timur. Reformer atau champion yang bersifat terbuka mendorong akselerasi praktek baik yang telah ada.
Kelemahan implementasi keterbukaan juga tidak hanya ada di pemerintah atau swasta tapi juga oleh masyarakat sipil dimana CSO tidak menggunakan jalur yang sudah ada dan meminta informasi lewat jalur belakang sehingga sistem yang masih banyak kelemahannya itu tidak terpakai.
Khusus untuk di tingkat legislatif, ketidaktersediaan format dari DPRD untuk menampung aspirasi rakyat menjadi kelemahan tersendiri.
Laporan lebih lanjut dari OGP Workshop Wilayah Tengah ini dapat diunduh melalui tautan di bawah ini.