JAKARTA, 18 September 2014 – Minggu depan, 25 September 2014, masih lama. Namun, bagi para pendukung dan pelaksana demokrasi, waktu seminggu lebih ini sangat berarti. Sangat krusial. Menentukan masa depan demokrasi lokal kita. Pada tanggal itu, DPR dan Pemerintah akan memutuskan untuk menerima ataukah menolak Pilkada secara tidak langsung.
Argumen pihak yang menolak Pilkada secara Langsung (kita sebut dengan Pilkada-oleh-Rakyat, atau Pemilukada), diantaranya, adalah karena berbiaya tinggi, pemborosan uang negara, dan menyebabkan konflik sosial secara horizontal.
Argumen pihak yang mendukung Pilkada-oleh-Rakyat adalah hak politik rakyat untuk memilih pemimpinnya.
Terkait soal biaya yang tinggi dan pemborosan, PATTIRO menilai hal tersebut harus ditinjau dari sudut pandang yang proporsional dan tepat. Bangsa ini harus belajar berpikir logis dan rasional. Tidak mencampur baurkan persoalan prinsipil dengan perihal teknis.
Kita bisa memeriksa contoh yang dialami oleh salah seorang kepala daerah di Jawa Tengah. Sang Bupati terpilih dua periode berturut-turut pada periode 2003-2008 dan 2008-2013, serta telah merasakan bagaimana kerasnya dua kali Pilkada, dengan dua jenis Pilkada yang berbeda. Saat terpilih di periode pertama, Sang Bupati terpilih melalui Pilkada-oleh-DPRD. Konon, sang Bupati ini harus merogoh kantong pribadinya untuk membelikan 35 anggota DPRD masing-masing satu mobil Suzuki Escudo 2.0, yang saat itu berharga sekitar Rp 200 juta/mobil. Total untuk terpilih, sang Bupati mengeluarkan biaya politik sebesar Rp 7 Miliar.
Saat Pilkada-oleh-Rakyat, di periode kedua, sang Bupati harus merogoh kantong lebih dalam lagi. Biaya politik yang dikeluarkannya, konon, mencapai Rp 15 Miliar. Dua kali lipat dari biaya yang dikeluarkannya dalam Pilkada-oleh-DPRD.
Ini adalah salah satu contoh dari dasar argumen biaya politik tinggi, meski sesungguhnya realita justru berkata relatif. Gamawan Fauzi, menurut pengakuannya di media, terpilih sebagai Bupati Solok melalui Pilkada-oleh-DPRD (2000-2005) dan Gubernur Sumatera Barat melalui Pilkada-oleh-Rakyat (2005-2011), dengan tidak mengeluarkan biaya politik.
Lalu, apakah itu berarti argumen penolakan terhadap Pilkada-oleh-Rakyat di atas itu benar? Tentu tidak sama sekali. Mengapa?
Menurut PATTIRO, sebagai bangsa kita harus membedakan mana yang prinsip, dan mana yang teknis dan non-prinsip. Pemilukada adalah prinsip dan elemen kunci dari sistem demokrasi. Sedangkan biaya politik tinggi adalah ekses yang dapat ditangani dan diatasi dengan pendekatan regulasi dan penegakan hukum.
Caranya adalah dengan menetapkan aturan Pembatasan Biaya Kampanye Politik secara ketat dalam RUU Pilkada yang sedang dibahas. Pembatasan ketat ini akan mendewasakan para Calon Kepala Daerah untuk kreatif dan solutif untuk merangkul suara masyarakat. Kreatifitas dan penyampaian solusi ini yang tidak menjadi perhatian utama dalam setiap Pilkada. Sehingga menyebabkan kompetisi demokrasi terjebak ke dalam panggung pertarungan nilai uang yang disebarkan kepada para pemilih. Siapa yang memberi “uang amplop” paling besar, maka dialah yang memiliki potensi besar untuk menang. Inilah ekses yang harus diatur secara tegas.
Pengaturan pembatasan biaya politik calon kepala daerah tersebut juga akan memberikan pelajaran dan memaksa partai politik pengusung untuk berkreasi dan bekerja lebih dekat dengan masyarakat. Dengan begitu, demokrasi kita akan lebih dewasa dan lebih matang.
Dengan dasar pemikiran diatas, PATTIRO mendesak kepada DPR RI dan Presiden RI agar:
- Tetap mempertahankan Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, karena hak politik rakyat adalah memilih pemimpin pemerintahannya. Disamping memilih perwakilannya di parlemen daerah.
- Mengganti nama RUU Pilkada menjadi RUU Pemilukada; karena dengan perubahan tersebut menjadi penegasan bahwa elemen kunci dari sistem demokrasi telah diterapkan, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) untuk Kepala Daerah.
- Menetapkan klausula dalam RUU tersebut mengenai Pembatasan Biaya Kampanye Politik secara ketat; dengan demikian setiap pengeluaran dan belanja kampanye dari Kandidat tidak dapat lagi dilakukan serampangan, jor-joran, seolah memiliki sumber keuangan yang tidak terbatas.
- Menetapkan klausula dalam RUU tersebut mengenai sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran Pembatasan Biaya Kampanye dengan menjatuhkan diskualifikasi bagi calon Kepala Daerah yang melanggar; sehingga memaksa setiap partai politik pengusung dan kandidat untuk mencari cara yang kreatif dan mencerdaskan bagi para pemilih.