Oleh: Didik Purwondanu, Senior Program Manajer PATTIRO bidang Akuntabilitas Sosial
“Keep collaborating and never trust the government”, kalimat penutup saya menjawab pertanyaan salah satu mahasiswa pascasarjana di bagian akhir forum publik di Open Government Hub, Jumat (19/9) sore lalu. Hal ini mengundang tepuk tangan dan tawa peserta yang hadir. Pertanyaan ini awalnya menyoal bagaimana strategi memastikan keberlanjutan advokasi di isu transparansi dan akuntabilitas (T/A), dan saya menjawab betapa banyak jebakan dalam partisipasi warga, salah satunya ketika inisiatif diadopsi maka ada peluang bagi pemerintah mengakomodasi gagasan awal dengan membuat interpretasi versi mereka sendiri.
Forum publik ini bagian dari lokakarya yang dibikin oleh Jonathan Fox dari Professor di American University, sejak 18 sampai 20 September 2014. Acara ini merupakan tindak lanjut dari acara serupa di Bulan Mei lalu, yang mengundang para teorisi di isu T/A. Rupanya hasilnya tidak cukup memberi pemahaman di lapangan, lebih kaya di sisi konseptual semata. Tak hanya saya yang bercerita praktek empiris, ada juga Renata Terrazas dari Fundar Mexico dan Felipe Heuser aktivis pergerakan dari Chile di bidang partisipasi publik yang bercerita pengalaman spesifik di Amerika Latin, seperti advokasi di level elit pemerintah nasional hingga membuat radio komunitas pergerakan. Itu yang di sesi kedua. Sebelumnya ada aktivis ngetop dari India Nikhil Dey dan Aruna Roy yang menyetel film pergerakan masyarakat non-partai memperjuangkan hak atas informasi, dan bagaimana metode kampanye masif yang mereka lakukan. Dan ada Joy Aceron dari Ateneo – Government Watch yang lebih umum bercerita tentang desain pengawasan kebijakan.
Saya sendiri diminta Jonathan untuk menjelaskan pengalaman PATTIRO menjalankan sinergi antara advokasi dan pemantauan publik di nasional dan daerah. Sesuatu yang diistilahkannya sejak 2007 sebagai vertical integration. Di awal saya membuka dengan cerita Indonesia baru selesaikan pekerjaan rumah demokrasi bernama Pemilihan Presiden. Hasilnya seorang tokoh baru yang menginspirasi banyak orang. Ada dua pembelajaran dari Pilpres ini, pertama soal volunteerism, membuka peluang bahkan rakyat kecil untuk menyumbang walau hanya seribu atau dua ribu rupiah. Kedua, dalam transparansi dan kolaborasi, bahwa keterbukaan yang dilakukan KPU telah memberi peluang bagi lima anak muda yang saya sebut sebagai Pandawa, membuat kawalpemilu.org sebagai platform bagi ribuan orang berkontribusi menghitung suara yang masuk.
Setelah menjelaskan sekilas profil PATTIRO yang aktif di isu T/A sejak 2000, akhirnya saya menjelaskan studi kasus vertical integration di NTB dan Lombok Barat. Hal yang terutama menjadi perhatian peserta ialah pengalaman jaringan CSO dan komunitas, serta bagaimana membangun koalisi tidak hanya di antara mereka namun juga dengan media. Presentasi ini juga disertai foto-foto aktivis komunitas, dan gambar diagram E-PIS yang sudah dimekarkan ke nasional. Bubar acara, beberapa peserta lokakarya menghampiri dan mengajak diskusi tentang beberapa poin yang saya sampaikan sebelumnya. Rasanya lelah yang diakibatkan jetlag dan persiapan sejak bulan lalu langsung hilang, terbayar sudah dengan antusias mereka.
Untuk membaca artikel yang dibahas pada forum publik tersebut, klik di sini