“Penambahan kewenangan terhadap gubernur menjadi salah satu hal baru dalam penetapan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang baru. Posisi gubernur semakin kuat di depan bupati/wali kota. Namun, hal itu sekaligus menjadi ujian baru relasi antara pemimpin daerah tingkat I dan tingkat II tersebut”
SPESIALIS Kebijakan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Iskandar Saharudin menilai, setelah dibahas sekitar dua tahun, rumusan UU Pemda ternyata belum menjawab seluruh catatan kritis yang muncul dalam naskah akademis RUU Pemda. Persoalan klasik dalam UU Pemda lama, yakni menegaskan posisi gubernur, belum mampu dijelaskan dalam UU Pemda saat ini. ”Posisi gubernur masih dilematis dan selalu memiliki konfl ik dengan bupati/ walikota,” ujar Iskandar saat dihubungi kemarin (28/9).
Menurut Iskandar, kewenangan gubernur memang sudah diperkuat. Namun, tetap saja gubernur memiliki dualisme kepentingan. Selain sebagai pejabat pemerintah pusat, gubernur adalah seorang kepala daerah yang masih memiliki wewenang menjalankan fungsi otonom. ”Gubernur masih saja menjadi wakil pemerintah pusat dan kepala daerah otonom. Di satu sisi, dia nanti harus mengutamakan kepentingan pusat. Atau sebaliknya,” ujar Iskandar.
Kewenangan gubernur memberikan sanksi kepada bupati/wali kota yang dinilai tidak melaksanakan program pemerintah berpotensi memunculkan hubungan yang tidak harmonis. Gubernur bisa mengontrol kebijakan bupati/wali kota, bahkan mencabut gaji dan memberhentikan sementara. ”Sementara bupati/wali kota lemah karena tidak memiliki satu mekanisme komplain, sekalipun keputusannya tidak benar,” kata Iskandar.
Dia menilai, kewenangan sanksi yang dimiliki gubernur bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Bisa jadi sanksi dijatuhkan bukan akibat problem tata kelola pemerintahan, melainkan hanya motif politik. ”Bupati/ wali kota menjadi sulit untuk mengabaikan sanksi karena ada ancaman dana alokasi umum (DAU) tidak diturunkan. Jadi, ada pengendalian kontrol fiskal agar kebijakan level pusat bisa berjalan,” ujarnya.
Posisi DPRD dalam UU Pemda memang diberi hak untuk memilih kepala daerah. Namun, fungsi pengawasan yang melekat di DPRD menjadi kabur karena kewenangan mengawasi sekaligus memberi sanksi juga ada pada gubernur. ”DPRD cuma diberi definisi sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Identitas itu tidak jelas karena tidak ada aturannya, bahkan di Kemenkeu sekalipun,” ujarnya.
Karena itulah, Iskandar menilai hasil akhir UU Pemda yang telah dibahas sekitar dua tahun belum maksimal. Relasi antar kepala daerah masih memiliki potensi konflik yang tinggi.