Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3: Kembali ke Semangat Proporsionalitas

Ketegangan antar dua kelompok fraksi yang berhimpun dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) kembali terjadi. Kali ini penyebabnya terkait pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR. Hasrat sapu bersih posisi pimpinan DPR dan alat kelengakapan oleh salah satu kubu mengakibatkan adanya perlakukan tidak adil dan mencederai prinsip keterwakilan seluruh kekuatan politik di DPR.

Kekisruhan ini tentu saja dapat mengganggu pelaksanaan tugas DPR seperti penetapan agenda alat kelengkapan, penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, pemilihan anggota KPK, dsb. Secara tidak langsung, akibat yang ditimbulkan berpotensi menghambat sejumlah program pemerintah. Tidak hanya itu, anggaran sebesar Rp 16,24 miliar (yang digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan serta biaya rapat-rapat pembentukan alat kelengkapan DPR) menjadi sia-sia. Belakangan, upaya mengakhiri kekisruhan di DPR telah disepakati yaitu menambah jumlah komisi dan pimpinan alat kelengkapan.

Menanggapi perkembangan terkini dari persoalan yang melanda DPR, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, yang terdiri dari berbagai organisasi yang fokus kepada reformasi parlemen, mendesak:

(1)    Pilihan jalan keluar berupa penambahan posisi pimpinan alat kelengkapan DPR maupun jumlah komisi hanya akan mempersulit beberapa fraksi, khususnya fraksi kecil, dalam menempatkan perwakilannya di sana. Imbasnya, proses pengambilan keputusan di komisi akan berjalan lebih lama dan sebagian kecil fraksi akan kewalahan karena beban kerja yang melebihi keanggotaan fraksi itu sendiri; dan

(2)    adanya konsekuensi berupa revisi UU MD3 seharusnya bukan menyediakan landasan hukum penambahan posisi pimpinan alat kelengkapan DPR maupun jumlah komisi. Namun sebagai pintu masuk mengembalikan prinsip proporsionalitas dalam mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan. Keberadaan prinsip proporsionalitas telah teruji sejak DPR periode 1999 – 2004. Bahkan keberadaan fraksi kecil seperti Fraksi Partai Gerinda (pada DPR periode 2009-2014) masih memungkinkan untuk menduduki posisi sebagai ketua pimpinan alat kelengakapan DPR (saat itu sebagai Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara/BAKN). Penggantian skema proporsionalitas dengan kebijakan pencalonan berdasarkan skema paket melalui UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak disertai argumentasi yang logis dan cenderung menjadi bagian kalkulasi politik yang ingin mendominasi DPR secara absolut.

Jakarta, 10 November 2014

  1. Danardono Siradjudin (Pusat Telaah dan Informasi Regional – PATTIRO 08111870300)
  2. Elizabeth Koesrini (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi – KID 081384697372)
  3. Ibrahim Zuhdy Fahmy Badoh (Transparency International Indonesia – TII 081319684443)
  4. Hendrik Rosdinar (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia – YAPPIKA 08111463983)
  5. Ronald Rofiandri (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia – PSHK 0818747776)
  6. Roy Salam (Indonesia Budget Center – IBC 081341670121)
  7. Sulastio (Indonesian Parliamentary Center – IPC 0811193286)
Scroll to Top
Skip to content