Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perubahan UU MD3: Perubahan UU MD3 Abaikan Putusan MK dan Aspirasi Publik

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)

(Indonesian Parliamentary Center (IPC), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), Pusat Telaah Informasi Regional (PATTIRO), Transparansi Internasional Indonesia (TI Indonesia), Indonesian Coruption Watch (ICW), Indonesian Budget Center (IBC), YAPPIKA)

Kurang dari tujuh jam, Rapat Paripurna DPR 5 Desember 2014 mengesahkan UU MD3 yang baru. Sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengalami perubahan, mencakup mekanisme pemilihan pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Langkah merevisi UU MD3 patut diapresiasi karena dapat dianggap sebagai jalan keluar atas kebuntuan politik di DPR. Semenjak dilantik, DPR belum bekerja karena deadlock dalam hal pemilihan pimpinan AKD, yang melibatkan Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Di luar Pimpinan DPR dan Badan Legislasi, ada 15 AKD yang belum terbentuk.

Patut disayangkan jika perubahan ini hanya menyangkut “kompromi kepentingan” kedua kelompok. DPD dan DPRD sebagai pihak yang juga diatur dalam UU MD3, bahkan tidak mampu menjangkau perubahan tersebut. Rekomendasi masyarakat sipil untuk penguatan kinerja DPR dipinggirkan, diantaranya:

  1. Mengembalikan beberapa pengaturan yang sudah baik dalam UU MD3 terdahulu (sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009) yaitu kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan melaporkan kepada publik serta penyampaian pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan;
  2. Meniadakan pengaturan minus dalam UU MD3 yang diubah (UU No 17 Tahun 2014) seperti penghapusan BAKN, multitafsir ketentuan hak imunitas dan hak anggota DPR mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan, dan penambahan tugas penyerapan aspirasi bagi MPR yang hanya akan memboroskan anggaran negara; dan
  3. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti jaminan atas keterwakilan perempuan pada unsur pimpinan AKD (putusan Nomor 82/PUU-XII/2014) serta pengukuhan fungsi dan relasi legislasi DPR dan DPD (putusan Nomor 92/PUU-X/2012).

Luputnya beberapa agenda di atas menandakan DPR tidak cukup reponsif terhadap putusan MK dan aspirasi publik. Atas fakta tersebut, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perubahan UU MD3, menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak kepada Pemerintah dan DPR untuk memasukan penyusunan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan menetapkannya dalam Prolegnas Prioritas 2015. Hal ini mencegah agar tidak terulang kembali kesalahan penyusunan UU MD3 di periode sebelumnya karena mepetnya waktu pembahasan yang berakibat pada kacaunya subtansi UU MD3; dan
  2. Subtansi penyusunan UU MD3 yang baru hendaknya mengacu pada desain perbaikan kelembagaan parlemenyang lebih akuntabel, transparan, partisipatif, dan representatif.

Jakarta, 9 Desember 2014

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perubahan UU MD3

Kontak Personal:

  1. Ahmad Hanafi, IPC (08119952737)
  2. Ronald Rofiandri, PSHK (0818747776)
  3. Ibeth Koesrini, KID (081384697372)
  4. Henrik Rosdinar, YAPPIKA (08111463983)
Scroll to Top
Skip to content