PATTIRO: Pemerintah Harus Miliki Data Terpilah Difabel

Jakarta, 23 Juni 2015 – Masuknya Rancangan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas ke dalam tiga puluh daftar pembahasan prioritas Program Legislasi Nasional tahun 2015 menghembuskan angin segar pada perjuangan pemenuhan hak-hak dasar para difabel. Dalam Rancangan Undang-Undang tersebut, hal yang harus menjadi perhatian utama pemerintah adalah masalah pendataan jumlah dan karakteristik difabel.

Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki data terpilah difabel yang akurat. Hal ini tentu berdampak pada pemenuhan hak-hak para difabel seperti memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, hingga yang paling mendasar yaitu hak memperoleh kesempatan untuk dapat berinteraksi secara wajar dengan lingkungannya. Untuk itu, pemerintah harus menyegerakan pendataan khusus secara nasional terhadap jumlah dan karakteristik difabel.

“Jika pemerintah memiliki data terpilah difabel yang akurat, hak difabel yang paling mendasar pun bisa terpenuhi seperti misalnya hak untuk bisa hidup mandiri,” ungkap Rokhmad Munawir, ahli pelayanan publik di Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) dalam keterangan persnya di Jakarta, 23 Juni 2015.

Dengan ketersediaan data yang akurat, pemerintah juga bisa mengetahui kebutuhan difabel secara lebih terperinci. Rokhmad mencontohkan, misalnya, difabel netra di suatu daerah diketahui berjumlah cukup signifikan, pemerintah daerah tersebut dapat menggandeng Dinas Pekerjaan Umum untuk memasang guiding block di sepanjang trotoar jalan agar mempermudah aktivitas para difabel netra. “Dengan melakukan hal itu, pemerintah daerah tersebut juga secara tidak langsung telah memenuhi hak para difabel untuk bisa berinteraksi dengan lingkungannya dan melakukan aktivitas kesehariannya secara mandiri,” tutur Rokhmad.

Sayangnya, Rokhmad menjelaskan, selama ini, pemerintah hanya mengandalkan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik dalam menentukan jumlah difabel. Padahal, data yang diperoleh dari riset tersebut tidaklah akurat. Hal ini karena pendekatan dan instrumen yang digunakan pemerintah dalam melakukan riset ini kurang tepat seperti penggunaan pengertian difabel yang belum spesifik. “Masyarakat lanjut usia yang mengalami penurunan kemampuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti berjalan, melihat, mendengar, dan lainnya, dianggap sebagai difabel oleh pemerintah” tutur Rokhmad.

Selain itu, berdasarkan hasil penilaian singkat yang dilakukan oleh PATTIRO bulan Mei lalu, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan di daerah tidak memiliki data terpilah yang akurat terkait difabel. Di Kabupaten Sorong misalnya, data difabel terpilah yang tersedia tak lebih dari sekedar nama-nama difabel penerima bantuan Jaminan Sosial Orang dengan Kecacatan Berat tahun 2012 yang berjumlah kurang tiga puluh jiwa. Bahkan, Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat secara terbuka mengungkapkan bahwa pihaknya belum pernah melakukan pendataan terhadap jumlah dan karakteristik difabel di wilayahnya karena ketidaktersediaan anggaran. Ketidakakuratan data tersebut juga bisa ditilik dari banyaknya persoalan yang muncul terkait penyelenggaraan program penjaminan dan pemenuhan kebutuhan difabel. “Hal ini menunjukan bahwa masih banyak difabel di Indonesia yang belum terpenuhi kebutuhannya,” pungkas Rokhmad.

Meski pemerintah sudah sempat mengeluarkan wacana terkait pelaksanaan survey terhadap jumlah dan karakteristik difabel secara nasional, Rokhmad mengkhawatirkan, Badan Pusat Statistik hanya akan berfokus pada data jumlah difabel dan melupakan data terpilah difabel. Agar data karakteristik difabel dapat tetap diperoleh secara akurat, pemerintah sebaiknya melibatkan Puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. “Puskesmas bisa melakukan pendataan terhadap jumlah dan karakteristik difabel saat melaksanakan survey Pemantauan Wilayah Sekitar. Pemerintah juga bisa mendukung Puskesmas dalam melakukan hal tersebut dengan memberikan contoh formulir pendataan yang mencantumkan kolom khusus untuk difabel dan karakteristiknya,” jelasnya. Rokhmad menambahkan, formulir semacam ini juga bisa digunakan oleh bidan Puskesmas saat melakukan pencatatan terhadap bayi difabel yang baru lahir sehingga data dapat terus terbaharui.

Tak hanya itu, untuk mendukung terwujudnya ketersediaan data jumlah dan karakteristik difabel, pemerintah bisa mencantumkan masalah pendataan di dalam peraturan perundang-undangan terkait difabel. Di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas memang sudah tertera peraturan terkait pendataan tersebut, namun belum semua pihak terlibat seperti misalnya Puskesmas. “Karena Puskesmas adalah salah satu ujung tombak dalam pelayanan publik, pemerintah harus menyertakan Puskesmas sebagai pihak yang juga ikut bertanggung jawab dalam melakukan pendataan tersebut,” ujar Rokhmad.

Dalam melakukan pendataan, ada beberapa hal yang juga harus menjadi perhatian pemerintah. Rokhmad mengatakan, sebaiknya, sebelum melakukan pendataan, pemerintah maupun Puskesmas perlu memberikan sosialisasi secara mandalam terkait difabel. “Ini penting karena sampai saat ini banyak masyarakat, terutama di daerah, yang kerap kali menyembunyikan anggota keluarganya yang memiliki disabilitas,” pungkasnya.

Scroll to Top
Skip to content