Peringati Hari Disabilitas Internasional, PATTIRO: Masih Terlalu Banyak Masalah!

HDI di SorongJakarta – Setiap tanggal 3 Desember, dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Sejak dideklarasikan pada tahun 1992 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa, hingga saat ini, sayangnya, difabel di Indonesia masih menjadi kelompok yang terpinggirkan.

PATTIRO memandang DPR masih lambat dalam membahas Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas. “Kawan-kawan difabel awalnya berharap mendapat kado manis berupa pengesahan RUU Penyandang Disabilitas menjadi Undang-Undang di perayaan Hari Disabilitas Internasional. Tapi saat ini saja RUU Penyandang Disabilitas masih dalam proses perumusan daftar inventaris masalah (DIM), padahal sebentar lagi DPR akan memasuki masa reses,” ujar peneliti PATTIRO Didik Purwondanu.

Oleh karena itu Didik menegaskan DPR harus kembali memprioritaskan pembahasan RUU Penyandang disabilitas dengan memasukannya kembali ke prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016.

Tak hanya DPR yang lambat, pemerintah pun sampai saat ini masih belum mampu memenuhi hak-hak dasar para difabel. PATTIRO menilai upaya yang dilakukan oleh pemerintah selama ini untuk mewujudkan kesetaraan hak dan meningkatkan kesejahteraan difabel belum maksimal. Berdasarkan hasil survei singkat yang PATTIRO lakukan, salah satunya di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, hanya 4% dari 120 responden terdaftar sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional dan memiliki kartu BPJS Kesehatan.

Spesialis Pelayanan Publik PATTIRO Rokhmad Munawir menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena masih banyak penyandang disabilitas yang belum memiliki identitas administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). “Hanya 36% responden yang memiliki KK dan 55% memiliki KTP. Ketiadaan dokumen-dokumen tersebut berdampak pada banyaknya difabel yang tidak terdaftar pada data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terutama sebagai Peserta Bantuan Iuran (PBI),” ujar Rokhmad.

Selain itu, Rokhmad menuturkan, para difabel kerap kali mengeluhkan minimnya ketersediaan sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka seperti ketersediaan jalur khusus untuk kursi roda (ramp) dan loket antrian khusus untuk difabel. “Loket antrian tersebut haruslah aksesibel. Misalnya, wajah petugas kesehatan di dalam loket harus dapat terlihat jelas. Ini agar memudahkan para difabel rungu untuk mengetahui apa yang disampaikan oleh petugas,” imbuhnya.

Selain dalam hal kesehatan, pemerintah juga harus lebih memperhatikan hak akses terhadap pendidikan bagi para difabel. Di Kabupaten Sorong, Papua Barat misalnya, yang juga menjadi area survei PATTIRO, tingkat pendidikan para difabel masih sangat rendah. Dari 90 orang responden, 21 difabel diantaranya hanya lulus Sekolah Dasar (SD) dan 26 lainnya sama sekali tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah.

Rokhmad menerangkan, hal tersebut terjadi karena sekolah-sekolah milik pemerintah di Kabupaten Sorong tidak memiliki fasilitas yang dapat menunjang pembelajaran para siswa difabel seperti misalnya ketersediaan alat tulis untuk difabel netra (reglet) dan buku pelajaran dengan huruf braile sehingga banyak difabel yang akhirnya mundur. “Sebaiknya, memang perlengkapan tersebut tidak hanya tersedia di sekolah-sekolah khusus, sekolah-sekolah negeri umum juga harus menyediakannya agar tidak ada lagi pemisahan antara siswa umum dan siswa difabel,” pungkas Rokhmad.

Agar para difabel lebih berdaya, pemerintah juga tidak boleh ketinggalan untuk memberikan pelatihan keterampilan. “Pelatihan yang diberikan ini akan menjadikan difabel lebih berdaya dan mampu bersaing dengan masyarakat lainnya,” jelas Rokhmad. Sayangnya, selama ini, baik di Kabupaten Lombok Barat maupun Kabupaten Sorong, hanya sejumlah kecil warga difabel yang pernah mendapatkan pelatihan keterampilan dari Dinas Sosial setempat – 9 orang di Kabupaten Lombok Barat dan 2 orang di Kabupaten Sorong.

Rokhmad menambahkan, pemerintah dapat memulai penanganan permasalahan tersebut dengan melakukan pendataan secara rinci dan memilah data tersebut berdasarkan jenis disabilitas, usia difabel, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lainnya. “Dengan cara ini, pemerintah akan lebih mudah mengidentifikasi kebutuhan para difabel, juga permasalahan yang sedang mereka hadapi sehingga solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut dapat segera dicari,” tandasnya.

Artikel ini telah dimuat di Rakyat Merdeka Online (RMOL) dengan judul Hari Disabilitas Internasional, PATTIRO: Masih Terlalu Banyak Masalah!

Scroll to Top
Skip to content