PATTIRO: Butuh Kerja Sama Lintas Kementerian untuk Selesaikan Masalah Difabel

HDIMasuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas ke dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016 tidak lantas membuat para difabel di Indonesia berlega hati. Pasalnya, PATTIRO menilai sampai saat ini masih ada beberapa hal di dalam RUU tersebut yang belum sesuai dengan harapan para difabel, terutama terkait dengan jumlah kementerian yang menjadi penanggung jawab sektor.

“Teman-teman difabel di seluruh Indonesia merasa bahwa Kementerian Sosial tidak seharusnya menjadi penanggung jawab sektor satu-satunya. Ini karena masalah yang dihadapi difabel tidak hanya di sektor sosial saja, tapi juga di sektor pendidikan, kesehatan, dan lainnya dimana Kementerian Sosial tidak bertanggung jawab di bidang itu,” ujar peneliti PATTIRO Didik Purwondanu.

Selain itu, Didik mengungkapkan, Kementerian Sosial selama ini melalui dinas-dinas sosialnya di daerah hanya fokus menyelesaikan permasalahan-permasalahan di hilir saja. “Dinas sosial selama ini biasanya hanya memberi bantuan berupa uang tunai atau sembako. Tapi apalah artinya itu jika teman-teman difabel tidak bisa berobat dan/atau bersekolah karena sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan di Indonesia belum bisa mengakomodir kebutuhan mereka,” pungkas Didik.

Untuk itu, Didik mengatakan, pemerintah perlu menunjuk kementerian lain untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh difabel. Didik menyebutkan setidaknya ada tiga kementerian lain seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM harus ikut terlibat.

Didik menjelaskan, infrastruktur hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan yang pemerintah sediakan belum mengakomodir kebutuhan difabel sehingga menyulitkan mereka untuk beraktivitas seperti masyarakat umum. “Contohnya, guiding block yang terpasang di trotoar jalan tidak terpasang dengan baik sehingga menyulitkan teman-teman difabel netra untuk berjalan. Infrastruktur dan pelayanan kesehatan serta pendidikan juga belum ramah terhadap difabel,” tutur Didik.

Oleh karena itu, menurut Didik, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS harus ikut berperan. Ia mengutarakan, BAPPENAS bisa mengambil peran dengan mengarusutamakan isu difabel ke dalam perencanaan pembangunan dan penyusunan kebijakan pemerintah. Dengan melakukan kedua hal tersebut, pemerintah telah selangkah lebih dekat dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan mempermudah interaksi para difabel dengan masyarakat. “Difabel selama ini ruang gerak dan interaksinya terbatas karena lingkungan kita tidak mendukung. Dengan terciptanya lingkungan tersebut, para difabel bisa lebih mandiri karena mereka dapat lebih leluasa berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya meski tanpa bantuan keluarga maupun para pendampingnya,” terang Didik.

Didik menambahkan, agar pelaksanaan pengarusutamaan isu difabel dapat berjalan baik dan memberikan hasil yang signifikan, pemerintah pusat juga harus melibatkan pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten/kota, maupun desa. Untuk itulah, Didik mengungkapkan, peran Kementerian Dalam Negeri sangatlah dibutuhkan karena pemerintah di tingkat daerah cenderung lebih mematuhi perintah dari Kementerian Dalam Negeri. “Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD dapat meminta daerah mengalokasikan dana untuk difabel agar pelaksanaan pembangunan dan penerapan kebijakan bisa membuahkan hasil yang signifikan,” imbuh Didik.

Selain pembangunan dan pembuatan kebijakan yang harus mengakomodir kebutuhan para difabel, perlindungan hukum terhadap difabel yang masih lemah juga harus ditingkatkan. Didik menerangkan, sampai saat ini masih banyak difabel terutama difabel perempuan yang mengalami kasus kekerasan. Namun karena kurangnya perlindungan dan bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah, banyak kasus kekerasan tersebut yang akhirnya tidak terselesaikan. “Sering kali teman-teman difabel kalah dalam menghadapi kasus kekerasan yang menimpanya karena mereka tidak mampu menyewa jasa pengacara yang dapat membantu mereka di pengadilan. Untuk itu, Kementerian Hukum dan HAM bisa berperan dengan menyediakan layanan bantuan hukum gratis,” ungkap Didik.

Didik mengatakan, tidak menjadi masalah jika Kementerian Sosial dijadikan penanggung jawab utama isu difabel di Indonesia. Namun, ia menegaskan, Kementerian Sosial tidak akan mampu menangani seluruh permasalahan difabel tanpa bantuan kementerian lain. Selain menjalankan perannya, Kementerian Sosial bersama masyarakat sipil juga bisa memantau pelaksanaan pembangunan dan penerapan kebijakan yang sudah disepakati bersama. “Dengan kerja sama keempat kementerian tersebut diharapkan masalah yang dihadapi oleh difabel bisa tertangani dengan baik sehingga mereka bisa lebih mandiri dan leluasan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya,” tandas Didik.

Scroll to Top
Skip to content