Oleh: I Wayan Nike Suputra*
Pemerintah desa dikhawatirkan tidak dapat menggunakan dana desa secara akuntabel. Ini disebabkan masih lemahnya kemampuan pemerintah desa dalam mengurus administrasi pemerintahan, tidak adanya sanksi serta lembaga pengawas. Berdasarkan hal tersebut, muncul sebuah pertanyaan: bagaimana cara agar pemerintah desa melaksanakan kewenangannya secara akuntabel?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis melakukan kajian teori dan konsep dari jenis-jenis akuntabilitas dan indikatornya yang dituntut UU desa, penjelasan dari tiap-tiap akuntabilitas, dan menyoroti konteks dan implikasinya pada arah pemberdayaan.
UU desa memuat tiga jenis akuntabilitas, yakni akuntabilitas fiskal, akuntabilitas sosial, dan akuntabilitas birokratik. Tulisan ini hanya akan terfokus pada akuntabilitas fiskal dan akuntabilitas sosial secara mendalam. Pada prinsipnya, mekanisme akuntabilitas adalah metode untuk menghalangi penyalahgunaan wewenang dan perilaku korupsi; merupakan hubungan antara agen atau lembaga pelaksana kewenangan dan tanggung jawab sebagai individu/posisi/lembaga kepada siapa agen menyampaikan tanggung jawab.
Akuntabilitas fiskal adalah bentuk pengendalian dari pimpinan mengarah ke bawah dan juga mengarah sejajar atau horisontal. Pemimpin dari pengendalian yang mengarah ke bawah adalah bupati/walikota, sedangkan pemimpin pengendalian sejajar atau horisontal adalah Badan Perwakilan Desa (BPD). Kekuatan pengendalian akuntabilitas ini diasumsikan tergolong tinggi karena kedudukannya bersifat formal dalam sistem pemerintahan. Indikator akuntabilitas fiskal terkait dengan tata administrasi dan keuangan. Pemimpin pengendali diharapkan memiliki ketertarikan yang besar terhadap dokumen-dokumen resmi keuangan, sehingga pengawasan vertikal dan horisontal diharapkan terwujud.
Indikator akuntabilitas fiskal mencakup adanya dokumen laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan desa tahunan ke bupati/walikota, menghasilkan dokumen perencanaan desa jangka menengah dan tahunan di desa; adanya dokumen laporan penyelenggaraan pemerintah desa pada akhir masa jabatan ke bupati/walikota menghasilkan dokumen pelaksanaan kegiatan dan atau realisasi anggaran desa; adanya dokumen laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis di setiap akhir tahun anggaran ke BPD, menghasilkan dokumen laporan pertanggungjawaban dan keterangan laporan pertanggungjawaban di desa; ada penerapan sanksi sesuai undang-undang jika gagal melaksanakan poin-poin tersebut.
Kapasitas pemerintah desa menjadi faktor penting keberhasilan mewujudkan akuntabilitas fiskal. Tedapat beberapa studi menunjukkan ketidakmampuan pemerintah desa dalam menjalankan roda perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan sesua peraturan yang ada. Pembelajaran dari studi-studi tersebut adalah perlunya membuat program penguatan kapasitas masyarakat desa dan pendampingan.
Secara konseptual, akuntabilitas sosial termasuk ke dalam bentuk pengendalian pimpinan eksternal yang mengarah ke atas. Akuntabilitas ini dicirikan oleh adanya upaya masyarakat sipil, individu dan kelompok, serta media yang menekan pengambilan keputusan untuk meminta informasi dan penjelasan atas semua keputusan di ranah kewenangannya.
Indikator akuntabilitas sosial mencakup aturan main dan prosedur penyampaian informasi ke masyarakat; ketersediaan dokumen non-formal, baik tertulis maupun lisan, kemudahan akses warga terhadap pengelolaan dan dokumen resmi, adanya pengetahuan dan pengalaman warga mengenai aspek-aspek tersebut, serta pengenaan sanksi apabila gagal menjalankannya.
Kekuatan pengendalian akuntabilitas ini bergantung pada sikap kritis warga, media massa, dan organisasi masyarakat sipil. Penulis menyampaikan bahwa minat masyarakat atas proses dan dokumen keuangan perlu dikaji lebih jauh, karena diduga lebih rendah jika dibandingkan minat kualitas pelayanan dan hasil pelaksanaan anggaran. Selain itu, penulis juga menyebutkan perlu adanya upaya-upaya penguatan kapasitas warga untuk mengawasi pemerintahan, baik desa maupun unit-unit pelayanan yang ada di desa.
Akuntabilitas birokratik adalah pengendalian internal yang mengarah ke bawah. Dalam akuntabilitas ini, kepala desa berkedudukan sebagai pemimpin, sedangkan pegawai desa sebagai agen. Indikator akuntabilitas birokratis mencakup dokumen laporan keuangan tiap semester dan tiap tahun dari perangkat desa berupa: dokumen rencana kegiatan pemerintah, dokumen rancangan anggaran pendapatan belanja desa, peraturan desa mengenai anggaran pendapatan dan belanja desa, bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah, dokumen rencana anggaran biaya yang sudah disahkan dan diverifikasi, buku pembantu kas kegiatan, dokumen surat permintaan pembayaran yang ditujukan ke kepala desa; dokumen peraturan kepala desa tentang perubahan pada anggaran pendapatan dan belanja desa, serta penerapan sanksi menurut UU dan peraturan yang ada jika gagal melaksanakannya. Dokumen-dokumen ini nantinya menjadi indikator akuntabilitas fiskal.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh AKATIGA, terdapat sembilan alasan kontekstual yang menjadi latar belakang praktek akuntabilitas, yakni:
- Kemampuan sumber daya manusia pemerintah desa;
- Kemampuan keuangan pemerintah desa terkait dengan akses terhadap informasi dan teknologi informasi;
- Jaringan sosial kepala dan masyarakat desa;
- Infrastruktur organisasi dan kepranataan pemerintahan desa;
- Keberadaan kelompok sosial yang kritis;
- Keberadaan program yang memperkenalkan praktik akuntabilitas;
- Struktur sosial, norma, dan kebiasaan setempat terkait keterbukaan dan saluran informasi;
- Keterlibatan pemerintah daerah dalam upaya pengaturan dan peningkatan kapasitas.
Kemampuan keuangan sudah diatasi oleh kebijakan dana desa, sehingga fokus pemberdayaan oleh pemerintah pusat dan daerah seyogyanya diarahkan ke pengembangan kemampuan sumberdaya manusia pemerintah desa, pembukaan akses terhadap informasi dan teknologi informasi, pengembangan organisasi dan kepranataan pemerintahan dan masyarakat desa, serta pendampingan dan pengembangan kapasitas.
Lemahnya kemampuan pemerintah desa dalam mengurus administrasi pemerintahan dan tidak adanya sanksi serta lembaga pengawas menjadi penyebab kegagalan dalam mewujudkan akuntabilitas pemerintahan desa. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus memberikan pengembangan kapasitas dan pendampingan kepada perangkat pemerintahan desa untuk dapat mewujudkan akuntabilitas. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dalam memantau dan terus mengawasi perkembangan pemerintahan desa dapat menjadi sumber masukan untuk perbaikan pemerintahan desa.
*Penulis adalah Mahasiswa semester VI jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada yang telah menyelesaikan kerja praktik di PATTIRO.