Desa Tolak Kebijakan Penggunaan 100% Dana Desa untuk Infrastruktur

imagesDana desa tahun 2016 tahap pertama sekitar Rp 28.2 triliun siap digelontorkan pemerintah pada tanggal 16 Maret mendatang. Presiden Joko Widodo memerintahkan agar seluruh dana desa tersebut digunakan hanya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Sayangnya, perintah presiden tersebut mendapat penolakan keras dari kalangan pemerintah desa. Berdasarkan temuan PATTIRO di beberapa desa di tiga provinsi yaitu Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Riau, desa-desa yang melakukan penolakan justru mereka yang memiliki prestasi tinggi.

Peneliti desa PATTIRO Ahmad Rofik menyebutkan, beberapa desa berprestasi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta berharap dana desa tahun ini diprioritaskan tidak hanya untuk infrastruktur namun juga pemberdayaan masyarakat. “Walaupun tidak sepenuhnya setuju dengan kebijakan pemerintah, pemerintah desa-desa tersebut mengatakan mengikuti saja aturan yang pemerintah keluarkan, tapi mereka berharap dana desa tetap bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Mereka juga berharap, jikapun dana desa digunakan untuk infrastruktur, Alokasi Dana Desa (ADD) tetap dapat digunakan untuk pemberdayaan,” terang Rofik.

Desa-desa berprestasi lain di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah juga mengatakan tidak bersedia jika seluruh dana desa digunakan untuk pembangunan infrastruktur. “Mereka inginnya dana desa itu bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat juga,” tutur Rofik.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa desa-desa di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah tidak akan secara langsung mematuhi perintah dari presiden tersebut. “Mereka mengatakan kalau mereka hanya akan manut dengan kebijakan kabupaten. Karena selama ini desa sudah menerapkan perencanaan desa secara konsisten sampai kepada penganggaran, yakni untuk pembangunan dan pemberdayaan sesuai kewengan dalam Undang-Undang Desa. Praktek tersebut sudah dituangkan dalam kebijakan kabupaten, dan bahkan sudah dimulai tahun 2004,” imbuh Rofik.

Rofik menambahkan, beberapa pemerintah desa di Kabupaten Siak, Riau juga menolak kebijakan tersebut karena mereka sudah membuat perencanaan penggunaan dana desa, salah satunya  untuk mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Meski ada kebijakan dana desa 100% untuk infrastruktur sudah dipublikasikan, pemerintah beberapa desa tersebut akan tetap mencoba memasukan rancangan anggaran ke sektor sekalin infrastruktur. “Baru setelah itu pemerintah desanya akan melihat setelah dievaluasi oleh pemerintah kabupaten, dicoret atau tidak rancangannya.

Sejalan dengan hasil penelitian PATTIRO, Ketua Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Wargiyati menegaskan bahwa ia dan seluruh perangkat desa yang tergabung di dalam organisasi tersebut menolak kebijakan 100% dana desa untuk infrastruktur karena dianggap menyalahi amanat Undang-Undang Desa dan Peraturan Menteri tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2016.

“Di Permendesa itu disebutkan kalau dana desa tahun 2016 tidak 100% diprioritaskan untuk infrastruktur tapi juga untuk pemberdayaan masyarakat. Dari sini saja sudah terlihat kalau kebijakan itu menyalahi aturan,” tegas Wargiyati.

Wargiyati menambahkan, kebijakan penggunaan dana desa 100% untuk infrastruktur juga dirasa memberatkan karena desa juga membutuhkan kebutuhan lain untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya seperti pendidikan dan kesehatan. Ia juga mengatakan, kebijakan ini bisa menjadi boomerang tersendiri bagi desa-desa yang sudah maju.

“Tidak hanya itu, kalau bagi desa-desa yang sudah tidak membutuhkan infrastruktur tapi masih mengalokasikan untuk infrastruktur, nanti akan jadi temuan BPK,” pungkas Wargianti.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Lembaga Kerja Desa Indonesia (LAKERDIN) Purwoko mengungkapkan, kebijakan dana desa 100% untuk infrastruktur melawan perencanaan desa. “Kebijakan itu melawan perencanaan desa karena pemerintahnya sudah melakukan perencanaan bahkan sebelum instruksi tersebut dikeluarkan. Perencanaan desa dimulai pada bulan Juni 2015 sementara pernyataan tersebut baru keluar pada bulan Desember,” jelasnya.

Purwoko juga menyebutkan, walaupun desa secara hirarki berada di bawah “keuasaan” pemerintah kabupaten, Undang-Undang Desa telah memberikan mereka kewenangan untuk melakukan perencanaan pembangunan sendiri. “Walaupun Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menempatkan desa sebagai subordinat kabupaten, namun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan desa telah memiliki kewenangan sepenuhnya dalam hal perencanaan,” ujar Purwoko.

Untuk itu, agar tidak terjadi inkonsistensi dalam implementasi Undang-Undang Desa, diperlukan perubahan di dalam Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional karena menurut Purwoko kedua undang-undang tersebut saling berintegrasi dalam konteks perencanaan.

Menanggapi kebijakan tersebut, Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan pemerintah desa dapat melapor kepada Ombudsman RI jika mereka merasa perintah presiden dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar terkait penggunaan 100% dana desa untuk pembangunan infrastruktur membatasi masyarakat desa untuk mendapatkan pelayanan publik yang mereka butuhkan.

Alamsyah mengaskan, pemerintah sebaiknya memberi ruang kepada desa untuk menjalankan kewenangannya. “Berikan kebebasan, kalau desa membutuhkan dana lain di luar infrastruktur, silahkan. Kalau desa lain masih membutuhkan seperti yang di luar Pulau Jawa, silahkan gunakan 100% dana desa untuk infrastruktur. Kita kembali saja ke semangat Undang-Undang Desa yang memberikan kewenangan sepenuhnya ke desa,” tandas Alamsyah.

Scroll to Top
Skip to content