Sasi merupakan sebuah mekanisme kearifan lokal yang digunakan masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam baik yang terdapat di darat, perarian atau sungai, maupun pesisir atau laut secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan kebutuhan pangan masyarakat. Tema inilah yang diangkat Peneliti PATTIRO Agus Salim dalam presentasinya di acara Local Knowledge Conference: “Local Knowledge to Policy: Whose Evidence Matters?”
Dalam kesempatan tersebut, Agus mengungkapkan beberapa hasil temuan penting dari penelitian mengenai penerapan Sasi Laut di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku yang PATTIRO lakukan bersama Yayasan Tifa Damai Maluku dengan dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI). “Pemerintah daerah setempat belum memiliki peraturan atau kebijakan untuk mendorong keberlanjutan sumber daya alam, terutama yang terkait dengan laut dan perikanan. Kebijakan yang dapat mendukung koordinasi dan kerja sama lintas sektoral dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan sasi laut juga belum ada,” ujar Agus.
Lebih lanjut Agus menambahkan, terbatasnya kapasitas masyarakat adat dalam melindungi wilayah sasi serta lemahnya koordinasi antar Kewang (pengawas adat untuk sasi), antara pemerintah negeri (desa) dan pemerintah kabupaten, serta antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi merupakan contoh tantangan penerapan sasi yang juga menjadi temuan dalam penelitian. “Pengawasan terhadap penerapan sasi laut juga semakin dipersulit karena sampai saat ini belum ada sarana dan prasarana pendukungnya,” ungkapnya.
Dalam persentasi yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia yang menjadi mitra KSI serta sejumlah perwakilan pemerintah itu, Agus juga menyampaikan beberapa rekomendasi kebijakan terkait pelestarian sumber daya alam yang telah ia dan tim peneliti susun.
“Agar sumber daya alam terutama laut dan perikanan di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah yang selama ini dijaga melalui penerapan sasi laut dapat terus terjaga, sosial budaya dan hukum adat yang berkembang di sana harus selalu dilestarikan. Untuk mendukung hal itu, pemerintah setempat perlu segera menyusun kebijakan pengelolaan sumber daya alam terkait pengembangan serta pemeliharaan nilai-nilai kecerdasan ekologi yang ada. Ini harus dilakukan agar sasi sebagai regulasi adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam tidak tergilas oleh perkembangan zaman dan tantangan hidup masyarakat,” jelas Agus.
Dalam rekomendasinya tersebut, Agus juga menuturkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan perlu diperkuat. Menurutnya, Penguatan serta penegakkan hukum yang berkeadilan juga perlu dilakukan dalam menjaga ekosistem lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam di daerah.
Konferensi Local Knowledge Conference: “Local Knowledge to Policy: Whose Evidence Matters?” terselenggara pada tanggal 12-13 April 2016 di Jakarta atas kerja sama KSI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada para peneliti Indonesia serta para pembuat kebijakan untuk bersama-sama membahas dan mempelajari tantangan dan peluang dalam menggabungkan pengetahuan serta kearifan lokal ke dalam kebijakan dan peraturan formal.