Cerita dari Lapangan oleh Muhamad Ridho Dinata*
Desa Cipalabuh yang terletak di Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten merupakan kawasan pertanian dan perkebunan. Desa ini terdiri dari sebelas kampung yang lokasinya saling berjauhan satu sama lain.
Sulitnya akses jalan menjadi masalah utama yang kerap masyarakat Desa Cipalabuh keluhkan. Hal itu pun berujung pada munculnya masalah-masalah lain, termasuk persoalan dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan. Karena sulitnya akses jalan, masyarakat desa harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya transportasi menuju puskesmas. Selain itu, masih terkait dengan pelayanan kesehatan, masyarakat desa juga harus menghadapi masalah seperti minimnya ketersediaan peralatan medis dan obat-obatan, serta tidak adanya privasi saat ibu melahirkan di ruang bersalin. Berbagai masalah tersebut pun berpengaruh pada status kesehatan para ibu dan bayi baru lahir di Desa Cipalabuh.
Menanggapi berbagai persoalan tersebut, sekelompok ibu di Kampung Cilatuk, salah satu kampung di desa tersebut, yang berprofesi baik sebagai petani maupun ibu rumah tangga pun mengambil tindakan. Bersama-sama, mereka berusaha meningkatkan pelayanan kesehatan serta memperbaiki status kesehatan para ibu dan bayi baru lahir. Mereka melakukan berbagai aksi sosial yang terorganisir, termasuk menyampaikan permasalahan kesehatan ibu dan bayi baru lahir kepada para pemangku kepentingan terkait seperti kepala desa, bidan, dan pengelola puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan. Melalui aksi tersebut, para ibu yang tergabung di dalam kelompok pegiat warga juga menuntut pihak-pihak tersebut untuk ambil bagian dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, terutama ibu dan bayi baru lahir.
Melawan Rasa Takut
Sepuluh ibu pegiat warga tersebut awalnya merasa segan, malu, dan takut untuk menyampaikan keluhan mereka terkait berbagai persoalan kesehatan yang ada di Desa Cipalabuh. Sebab, mereka tidak memiliki cukup pengalaman dalam berinteraksi dengan para pemangku kepentingan tersebut karna sebelumnya mereka tidak pernah terlibat sebagai kader Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) maupun posyandu. Latar belakang para ibu pegiat warga yang hanya lulusan sekolah dasar juga menjadi faktor munculnya rasa malu dan takut tersebut.
Mahalnya biaya persalinan, sulitnya mendapat kendaraan untuk mengantar ibu melahirkan ke puskesmas, terbatasnya peralatan medis dan obat-obatan memang dirasakan oleh setiap ibu di Desa Cipalabuh, termasuk para ibu pegiat warga. Namun, karena ketakutan dan rasa malu yang mereka miliki, para pegiat warga pada awalnya hanya bisa memberi rasa simpati dan empati, tidak lebih. Rasa simpati dan empati mengenai kondisi para ibu dan bayi baru lahir, serta kekhawatiran para ibu hanya mereka sampaikan di forum rumpi di pos ronda kampung.
Kesadaran akan pentingnya melawan rasa takut dan malu tersebut sebenarnya telah dipahami betul oleh para ibu pegiat warga. Mereka tahu dan paham hanya dengan menyingkirkan rasa itu mereka dapat membantu dalam memperbaiki kondisi kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Desa Cipalabuh. Setelah membulatkan tekad, mereka pun sepakat untuk menemui para pemangku kepentingan di desa mereka secara bersama-sama. Mereka percaya bawha aksi yang dilakukan secara bersama-sama akan memberikan dampak perubahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan aksi individu yang tidak terorganisir.
Keberanian para ibu pegiat warga tersebut pun membawa dampak positif. Pada beberapa pertemuan yang mereka adakan dengan para pemangku kepentingan, para ibu mulai memberanikan diri untuk menyampaikan aspirasi mereka dalam meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang ada di desanya. Mereka juga mulai leluasa menyampaikan keluhan mereka dan berbagai cerita di lapangan kepada para elit desa dan pihak puskesmas. Bahkan, para ibu pegiat warga mulai berani menegur mereka jika lambat dalam memberi pelayanan dan merespon keluhan warga.
Bersama Pasti Bisa
Kesepuluh ibu tersebut mulai aktif sebagai pegiat warga yang menaruh perhatian lebih untuk mengatasi permasalahan kesehatan ibu dan bayi baru lagir di desanya sejak bulan Oktober 2015, setelah PATTIRO melalui Program Transparansi untuk Pembangunan/Transparency for Development (T4D) memberikan pendampingan kepada mereka. Sejak saat itu, mereka telah melakukan sejumlah aksi sosial seperti menemui bidan dan kepala desa untuk membahas solusi atas masalah kesehatan yang ada. Meskipun baru sebatas pada pertemuan-pertemuan singkat, aksi tersebut memberikan dampak yang sangat luas terutama dalam rangka peningkatan status kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Desa Cipalabuh.
Aksi yang pertama para pegiat warga Desa Cipalabuh lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan bidan desa. Pada pertemuan tersebut, pegiat warga menyampaikan berbagai permasalahan yang mereka hadapi terkait pelayanan puskesmas terutama pelayanan ibu melahirkan seperti kurangnya privasi ibu melahirkan pada saat berada di ruang bersalin, minimnya ketersediaan obat dan peralatan medis, dan mahalnya biaya bersalin. Para pegiat warga juga menyampaikan kebutuhan mereka akan mobil ambulans tambahan karena armada yang telah ada saat itu belum bisa menjangkau seluruh masyarakat Desa Cipalabuh karena letaknya yang jauh dari Puskesmas Kecamatan Cijaku.
Pihak Puskesmas Cijaku pun langsung membawa hasil pertemuan ke dalam rapat evaluasi dengan kepala serta seluruh pemangku kepentingan di puskesmas. Aspirasi para ibu pegiat warga langsung mendapat respon dari pihak puskesmas. Dua bulan setelah pertemuan tersebut, perubahan mulai dirasakan oleh masyarakat. Pihak puskesmas sudah menyediakan partisi di ruang bersalin. Mereka pun menjaga kebersihan partisi dengan menggantinya secara reguler. Puskesmas pun tidak lagi kekurangan persediaan obat dan telah menyediakan peralatan baru seperti vacuum – alat penyedot – untuk membantu proses persalinan ibu. Tarif persalinan juga turun dari yang sebelumnya Rp450,000 menjadi Rp350,000. Puskesmas juga menambah armada mobil ambulans seperti permintaan para pegiat warga.
Setelahnya, sebagai aksi sosial kedua, para pegiat warga memberanikan diri menemui Kepala Desa Cipalabuh untuk menyampaikan masalah rusaknya akses jalan desa menuju puskesmas. Para pegiat warga mendorong pemerintah desa untuk segera memperbaiki kondisi jalan terutama jalan-jalan yang sudah tidak layak di Kampung Pasir Tapos dan Cianyar yang letaknya paling jauh dari Puskesmas Cijaku. Kepala desa dengan sigap langsung menanggapi aspirasi para ibu pegiat warga. Ia mengatakan siap mendukung setiap usulan yang mereka berikan, termasuk memasukan rencana perbaikan jalan di dua kampung terjauh tersebut ke dalam perencanaan penggunaan dana Alokasi Dana Desa (ADD) tahun 2016. Bahkan, kepala desa berencana mengangkat para pegiat warga menjadi Kelompok Wanita Tani (KWT) Desa Cipalabuh dan akan memberikan seragam kepada mereka.
Melihat keberhasilan yang mereka ciptakan, para ibu pegiat warga Desa Cipalabuh berkomitmen untuk menularkan semagat kepedulian dan mengampanyekan pentingya kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke seluruh warga Kampung Cilatuk dan masyarakat kampung lainnya di Desa Cipalabuh.
*) Fasilitator PATTIRO dalam Program T4D di Provinsi Banten | Penyunting: Ega Rosalina