Baru saja beberapa waktu lalu dihebohkan dengan penemuan vaksin palsu, kini, masyarakat dan pemerintah kembali dikejutkan dengan penemuan kartu BPJS Kesehatan palsu di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Berdasarkan informasi yang PATTIRO himpun dari berbagai media, kartu BPJS Kesehatan palsu tersebut diduga dimiliki oleh sekitar 230 orang dari Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Warga Desa Kertajaya mengaku mereka mendaftar untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan kategori peserta mandiri kelas III. Mereka membayar uang sebesar Rp 100 ribu kepada pihak penyedia jasa pembuatan kartu dan akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis selama dua tahun.
PATTIRO menilai ada dua penyebab utama dari kemunculan kartu BPJS Kesehatan palsu tersebut.
Penyebab pertama, menurut Direktur Eksekutif PATTIRO Sad Dian Utomo, adalah kurang maksimalnya kegiatan sosialisasi yang selama ini pihak BPJS Kesehatan lakukan. Hal itu kemudian berujung pada rendahnya pemahaman masyarakat terutama yang tinggal di desa tentang prosedur pendaftaran dan penggunaan kartu BPJS Kesehatan.
“Masyarakat yang menjadi korban kartu palsu itu memilih menggunakan jasa calo karena tidak paham dengan prosedur pendaftaran kepesertaan BPJS Kesehatan. Mereka tergiur dengan iming-iming calo yang mengatakan cukup bayar Rp 100 ribu untuk mendapat kartu BPJS Kesehatan tanpa membayar iuran per bulan juga karena mereka tidak memahami prosedur penggunaan kartu,” ujar Sad Dian.
Selain lemahnya sosialiasi, Spesialis Pelayanan Publik PATTIRO Rokhmad Munawir menuturkan bahwa salah satu penyebab lain dari munculnya kartu palsu tersebut adalah lemahnya proses verifikasi kepesertaan masyarakat di dalam program BPJS Kesehatan.
Ia menerangkan, tidak semua pihak yang menjadi bagian dari sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seperti fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama melakukan proses verifikasi tersebut. “Banyak faskes tingkat pertama yang tidak melakukan proses verifikasi peserta, terutama puskesmas. Ini karena puskesmas mendapat dana kapitasi dari pemerintah sehingga penggunaan kartu BPJS Kesehatan palsu tidak akan merugikan mereka. Jadi mereka tidak begitu peduli dengan proses verifikasi,” jelasnya.
Padahal, Rokhmad berpendapat, jika puskesmas dapat melakukan proses verifikasi tersebut, penolakan pasien di rumah sakit seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat tidak perlu terjadi. Oleh karenanya, Rokhmad menyarankan, pihak BPJS Kesehatan harus mendorong puskesmas dan penyedia layanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi mitranya untuk melakukan proses verifikasi peserta.
Rokhmad mengatakan, sebenarnya, faskes tingkat pertama dapat memanfaatkan aplikasi khusus yang telah mereka kembangkan untuk mempermudah proses verifikasi tersebut. “Melalui aplikasi tersebut, pihak penyedia layanan mitra BPJS Kesehatan terutama puskesmas dapat mengecek status kepesertaan masyarakat, mulai dari kategori peserta apakah mandiri atau penerima bantuan iuran, kategori kelas peserta, status pembayaran iuran per bulan bagi peserta mandiri, hingga data peserta,” imbuhnya.
Namun, Rokhmad menuturkan, BPJS Kesehatan perlu meninjau kembali kefektifan penggunaan aplikasi tersebut. Ini karena, menurutnya, aplikasi tersebut hanya akan efektif di daerah perkotaan. “Di daerah perdesaan aplikasi itu tidak akan efektif karena koneksi internet di faskes tingkat pertama dan rumah sakit di sana tidak semuanya bagus. Maka, BPJS Kesehatan selain menyediakan aplikasi, juga perlu membekali faskes tingkat pertama dan petugasnya yang berada di rumah sakit dengan perangkat koneksi internet yang baik sehingga proses verifikasi mudah dilakukan,” pungkasnya.
Rokhmad menegaskan, masyarakat memang menjadi korban dari keberadaan kartu BPJS Kesehatan palsu tersebut. Namun, bukan berarti mereka lantas menyalahkan pihak lain tanpa ikut membantu melakukan perubahan.
“Masyarakat sebagai pengguna kartu juga tidak boleh abai. Masyarakat harus mulai mandiri, misalnya membuat kartu sendiri tanpa melewati calo. Melakukan verifikasi sendiri melalui aplikasi yang ada jika memungkinkan. Intinya, peran masyarakat juga dibutuhkan untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik lagi,” tandas Rokhmad.