Dampak Penundaan Sebagian Transfer DAU 2016 terhadap Pelayanan Publik di Daerah

Oleh: Maya Rostanty*

DAUPemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 125/PMK.07/2016 tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun Anggaran 2016. PMK ini ditandatangani pada tanggal 16 Agustus 2016 oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan PMK ini, pemerintah akan memangkas Rp 19,418 triliun untuk 169 daerah, terdiri dari  143 kota/kabupaten dan 26 provinsi.

Besaran DAU yang dipangkas berbeda-beda untuk tiap daerahnya. Ada tiga kriteria yang digunakan, yaitu kapasitas fiskal, kebutuhan belanja, dan prediksi posisi saldo kas daerah pada akhir 2016. Prediksi posisi saldo kas daerah pada akhir 2016 pun kembali dibagi menjadi empat kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi dan sedang. Di daerah dengan posisi saldo kas sangat tinggi, yaitu 19 provinsi dan 23 kabupaten/kota, penyaluran DAU ditunda sebesar 50%. Di empat provinsi dan 38 kabupaten/kota dengan posisi kas cukup tinggi, penyaluran DAU ditunda sebesar 40%. Selain itu, di satu provinsi dan 41 kabupaten/kota yang memiliki posisi saldo kas cukup tinggi, penyaluran DAU ditunda sebesar 30%. Sedangkan, dua provinsi dan 41 kabupaten/kota dengan posisi saldo kas sedang, penyaluran DAU ditunda sebesar 20%.

Pemerintah daerah yang mendapat penundaan penyaluran DAU paling besar antara lain adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 336,8 miliar, Provinsi  Jawa Timur sebesar Rp 302,9 miliar, dan diikuti oleh Kabupaten Bogor sebesar Rp 347,2 miliar, Kabupaten Garut sebesar Rp 327,6 miliar, serta Kota Bandung sebesar Rp 302,8 miliar.

Pilihan Pahit Tapi Harus dilakukan

Pemerintah pusat berpendapat bahwa penundaan sebagian transfer DAU dilakukan untuk mengendalikan pengimplementasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2016.

Hal ini perlu dilakukan karena target penerimaan yang tertuang di APBN Perubahan Tahun 2016 yang mencapai Rp 1.539,2 trilyun dipandang akan sulit dicapai. Menurut pemerintah, kesulitan ini muncul karena kondisi perekonomian dunia sampai saat ini belum cukup menggembirakan. Realisasi penerimaan APBN Tahun Anggaran 2015 pun hanya mencapai 83.2% dari target Rp. 1,240 triliun. Selain itu, program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty yang diharapkan bisa menambah penerimaan negara belum mampu menunjukkan kesaktiannya. Dalam kondisi seperti ini,  meskipun pahit, upaya penghematan menjadi satu hal yang realistis dan harus dilakukan. Sudah saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan upaya penghematan secara tepat. Tujuannya adalah agar pengelolaan keuangan negara tetap kredibel.

Penghematan tahap pertama dilakukan di tingkat Kementerian/Lembaga di masa Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, yaitu dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Melalui inpres ini, total anggaran yang dipotong adalah Rp 50,016 triliun. Setelah itu, dilakukan penghematan tahap kedua di masa Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan melakukan pemangkasan anggaran K/L senilai Rp 65 triliun dan mengurangi dana transfer daerah sebesar Rp 68,8 triliun.

Momentum Penghematan oleh Pemerintah Daerah

Kebijakan penundaan penyaluran sebagian DAU perlu segera direspon oleh pemerintah daerah. Hal yang paling realistis untuk segera dilakukan adalah melakukan penghematan, terlebih mengingat mayoritas daerah mengandalkan dana transfer dari pusat  sebagai sumber pendapatannya.

Penundaan penyaluran sebagian DAU merupakan momentum dari daerah untuk melakukan penghematan. Meski begitu, penting untuk diperhatikan, pemerintah daerah wajib hukumnya untuk tetap senantiasa mendahulukan kepentingan masyarakat. Ini karena, sejatinya, APBN/APBD adalah uang rakyat yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.

Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) perlu menyusun kriteria penghematan. Selanjutnya, kriteria tersebut akan digunakan oleh para Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan penghematan mandiri di unitnya masing-masing.

Pemerintah daerah juga memfokuskan diri pada penghematan belanja operasional seperti anggaran untuk perjalanan dinas, alat tulis kantor (ATK), dan biaya rapat. Sudah menjadi rahasia umum jika staf pemerintah daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah senang melakukan perjalanan dinas ke luar daerah secara berombongan. Inilah saatnya kebiasaan itu dihentikan. Seyogyanya, perjalanan dinas hanya dilakukan untuk urusan prioritas dengan jumlah peserta perjalanan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Penghematan perjalanan dinas dan belanja makan serta minum di Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD juga sebaiknya dipotong. Merujuk pada data APBD berbagai daerah, alokasi dana perjalanan dinas dan konsumsi cukup besar sehingga layak untuk dipangkas karena tidak terkait langsung dengan penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, SKPD dan TAPD perlu menyisir kembali kegiatan-kegiatan yang masih bisa ditunda pelaksanaannya dengan mendasarkan indikator kinerja utama RPJMD sebagai sarana menyaring kegiatan prioritas/tidak.

Intinya, penghematan tersebut jangan sampai mengganggu pelayanan untuk masyarakat. Anggaran untuk puskesmas, rumah sakit, sekolah, pemeliharaan jalan adalah contoh alokasi yang harus tetap ada dan tidak boleh dipangkas.

Memastikan Pelayanan Publik di Daerah Tidak Terganggu

Idealnya, penghematan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak memengaruhi kepentingan masyarakat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun, ada potensi penghematan yang tidak tepat. Pemerintah daerah dikhawatirkan justru akan memangkas anggaran untuk pelayanan masyarakat dan tidak memotong anggaran dengan penerima manfaat staf pemerintah daerah dan anggota DPRD. Kondisi ini bisa terjadi karena proses politik anggaran daerah, dimana APBD disepakati dan disahkan oleh eksekutif dan legislatif.

Meskipun pasal 3 dalam PMK 125/2016 ini menegaskan bahwa penyesuaian atas penundaan penyaluran sebagian DAU dilakukan tanpa menunggu APBD Perubahan 2016, namun bulan Agustus-September 2016 adalah bulan dimana APBD Perubahan 2016 akan dibahas dan ditetapkan. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa proses pembahasan mengenai pos-pos yang dihemat akan berlangsung cukup panas. Jika keduanya pro rakyat, maka tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Namun, jika keduanya atau salah satunya tidak pro rakyat, maka potensi penghematan yang mengorbankan kepentingan masyarakat harus diwaspadai. Oleh karena itu, masyarakat dan media  perlu mengawal proses pembahasan APBD Perubahan dan kebijakan mengenai penghematan ini.

Selain itu, perlu pula diwaspadai potensi fenomena “gaji buta” yang terjadi karena dana program dan kegiatan dipotong. Akibatnya, para pegawai pemerintah yang meski setiap bulan mendapat gaji tidak melakukan kegiatan atau pekerjaannya dengan baik karena alasan tidak adanya anggaran.

Untuk mencegahnya, pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan. Perlu ada tim khusus dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan yang bertugas melakukan pemantauan kepada daerah-daerah yang terkena penundaan penyaluran DAU ini. Tujuannya untuk memastikan pelayanan publik di daerah tidak terganggu dan penghematan dilakukan secara tepat. Selain itu, tim ini juga bertugas menerima masukan dan keluhan dari masyarakat yang melaporkan dampak negatif dari terbitnya kebijakan ini.

*) Spesialis Keuangan Publik PATTIRO

Berita

Berita Lainnya

Newsletter

Scroll to Top
Skip to content