Adakan Diskusi Publik, PATTIRO Dorong Inklusi Sosial Bidang Kesehatan

2016.10.26.DISKUSI.PUBLIK.IMPLENTASI.UU.DISABILITAS

Sebagai bentuk perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat difabel, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menyelenggarakan diskusi publik pada 26 Oktober 2016 bertempat di Cikini, Jakarta. Acara yang bertemakan “Implementasi UU Disabilitas, Menuju Pelayanan Publik Inklusif” ini merupakan satu bagian dari rangkaian kegiatan penutup Program Peduli Difabel, yang sudah dijalankan sejak Juni 2015 di Sorong dan Lombok Barat.

Dalam acara yang berlangsung selama dua hari itu, PATTIRO turut mengundang Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan Kementrian Sosial, Tina Camelia Zonneveld, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat, Arbain Ishak, lalu Iswarni Pujiningrum selaku Ketua Forum Komunikasi Orang Tua dengan Anak Disabilitas (FKOAD) yang merupakan organisasi rintisan program ini di Kabupaten Sorong, dan juga Rokhmad Munawir dari PATTIRO.

Direktur PATTIRO, Maya Rostanty menjelaskan bahwa diskusi publik ini dilaksanakan sebagai wadah untuk menyampaikan praktek-praktek baik dari daerah program dalam inklusi sosial di sektor pelayanan publik bidang kesehatan. Selain itu, diskusi ini juga diharapkan dapat membantu mengidentifikasi peluang sinergi antara pemerintah, lembaga sosial masyarakat (LSM) serta, mitra pembangunan dalam mendukung implementasi UU Disabilitas untuk pelayanan publik inklusif.

Acara dibuka oleh Asisten Deputi Pemberdayaan Masyarakat Kemenko PMK, Magdalena. Ia menyampaikan perkembangan Program Peduli yang telah dijalankan oleh Kemenko PMK sejak 2015. Bukan hanya masyarakat disabilitas yang mendapat perhatian dari program tersebut, namun juga golongan minoritas, anak dan remaja rentan, masyarakat adat terpencil, korban pelanggaran HAM, serta waria. Sayangnya, lanjut Magdalena, dari sekitar 4,5 juta jiwa rakyat Indonesia yang hidup dalam kondisi terpinggirkan, program ini baru mampu menjangkau 950.000 jiwa pada pelaksanaan fase kedua di tahun 2015-2016.

Sebab itu, Magdalena menekankan, masalah eksklusi sosial di Indonesia tidak cukup hanya dengan menyediakan sarana dan prasarana semata, tetapi juga dengan cara memperkuat kapasitas sosial serta meningkatkan akses mereka pada layanan yang disediakan oleh pemerintah.

Dalam diskusi tersebut, Iswarni Pujiningrum atau yang akrab disapa Ibu Ning menceritakan pengalamannya sebagai orang tua difabel di Kabupaten Sorong. Sampai saat ini, masih banyak masyarakat dan bahkan keluarga sendiri yang mendiskriminasi anggota keluarganya yang difabel. Stigma ketidakmampuan kerap diasosiasikan kepada difabel, sehingga muncul rasa ketidakpercayaan diri dan merasa menjadi beban dalam keluarga.

Padahal, lanjut Ibu Ning, jika ditangani dengan baik, maka anak difabel akan mampu hidup mandiri. Ia pun membuktikan pada anaknya yang telah mandiri meskipun hanya dapat menggerakkan tiga jari saja. Semangat itulah yang ia tularkan kepada orang tua difabel lainnya melalui FKOAD. Salah satunya melalui kegiatan pendataan di masing-masing RT dan dari hasil pendataan itu, dilaksanakan kegiatan deteksi dini yang melibatkan tenaga kesehatan secara sukarela.

Perlakuan ekslusi juga kerap datang dari pemerintah. Difabel menjadi masyarakat golongan kedua yang sering terlupakan. Fasilitas publik dibangun dengan tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Dalam masalah administrasi kependudukan misalnya, banyak difabel yang tidak dapat mengaksesnya karena tidak difasilitasinya keterbatasan mereka untuk memenuhi persyaratan KTP, seperti rekam iris mata, cap sidik jari, tanda tangan. Hal ini kemudian berdampak pada pelayanan perbankan yang mengharuskan nasabahnya untuk membubuhkan tanda tangan.

Terkait permasalahan ini, Ibu Tina Camelia menyatakan, pihaknya telah mendapatkan penjelasan dari Direktorat Administrasi Kependudukan. Sebenarnya perekaman tersebut tidak semuanya harus dipenuhi, cukup salah satu saja. Sayangnya, informasi ini tidak sampai secara tepat di masing-masing wilayah. Sebagai pilihan, kesepakatan percepatan memperoleh identitas bagi difabel sudah disusun antara Kementerian Sosial dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pihaknya  sudah berdiskusi tentang kartu penyandang disabilitas yang akan mengacu pada Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Masalah adminduk ini juga berdampak pada pelayanan kesehatan dimana difabel tidak dapat mengakses kepemilikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Di Lombok barat misalnya, Bapak Arbain Ishak dari Dinas Kesehatan (Dinkes) menyatakan, tidak semua fasilitas kesehatan tergolong aksesibel bagi difabel. Apalagi belum ada regulasi daerah yang mengatur layanan publik bagi difabel. Sehingga ketika dihadapkan dengan permasalahan anggaran, Dinkes pun kebingungan mencari cantolannya.

Olehnya, melalui Program Peduli Difabel ini, kerjasama Dinkes dan PATTIRO telah menghasilkan sebuah terobosan guna mengatasi permasalahan tersebut, yaitu menyediakan fasilitas ramah difabel di puskesmas melalui program Rintisan Puskesmas Ramah Difabel (RPRD), seperti pegangan ram bagi difabel netra, jalur kursi roda, dan termasuk petugas yang mampu berkomunikasi dengan difabel. Pada tahap awal, sudah ada empat puskesmas yang menjalankan program tersebut. Harapannya, dengan penyusunan Perbup Kabupaten Lombok Barat tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi yang sudah memasuki tahap akhir, program RPRD dapat meluas ke semua puskesmas. Selain itu, bersama kelompok difabel, Dinkes dan puskesmas juga telah memfasilitasi pembuatan 165 kartu JKN bagi difabel yang sudah memiliki NIK.

Di kesempatan yang sama, Rokhmad Munawir menekankan, tujuan utama adanya UU No. 8 tahun 2016 tentang disabilitas adalah terjadinya perubahan di masyarakat. Sebab itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan pelayanan publik inklusif sesuai UU tersebut, yaitu adanya kemauan untuk berubah, dari sisi kebijakan maupun perilaku, inovasi dalam pelayanan publik. Beberapa kebijakan di level daerah pun seringkali ada ketakutan tumpang tindih dengan peraturan di atasnya. Oleh karena itu, penting adanya kolaborasi para pihak, baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk merumuskan strategi agar dapat menciptakan keberhasilan-keberhasilan.

Terkait implementasi UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Ibu Tina Camelia mengatakan, Kemensos telah melakukan pemetaan Peraturan Pemerintah (PP) mana yang harus menjadi prioritas. Regulasi yang akan disusun tidak hanya dimandatkan ke Kemensos saja, tapi juga ke kementerian terkait seperti, Kemendikbud, Kemenhub, Kementerian PU, dll. Olehnya, Kemensos telah meminta bantuan kerjasama Kemenko PMK dan Bappenas untuk mendorong kementerian lain segera menyusun PP yang sudah dimandatkan UU No. 8 tahun 2016 tersebut.

Sebagai penutup diskusi, Magdalena atau yang akrab disapa Ibu Meggy menambahkan, bahwa Kemenko PMK dan Kemensos, bukan “jagoan” yang dapat mengimplementasikan UU tersebut sendiri. Perlu dukungan dari pemerintah daerah. “Kita sangat berharap ada masukan operasional dari teman-teman daerah yang lebih bersentuhan langsung dengan permasalahan difabel ini,” tandas Ibu Meggy.

Kegiatan itu sendiri, dihadiri oleh beberapa perwakilan stakeholder yang bekerjasama dengan PATTIRO dan menyukseskan Program Peduli Difabel seperti, Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Sorong, Bagian Hukum Setda Kabupaten Sorong, Puskesmas Aimas Kabupaten Sorong, Puskesmas Labuapi dan Puskesmas Lingsar dari Kabupaten Lombok Barat, organisasi difabel dari Kabupaten Lombok Barat, P3D Kec. Labuapi. Turut hadir pula perwakilan dari mitra Program Peduli Difabel seperti SAPDA Yogyakarta, BAHTERA Sumba, dan YASMIB Sulawesi Selatan; perwakilan organisasi difabel dan CSO di Jakarta, seperti PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia), PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), IPC (Indonesian Parliamentary Center), rekan-rekan PATTIRO Raya dari Banten dan Sulawesi Selatan; serta para pegiat isu disabilitas yang terlibat sebagai peserta.

Penulis: Riska

Scroll to Top
Skip to content