Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa (UU Desa), memberikan hak pada warga ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa (Pemdes). Ini karena, UU Desa mengkonstruksikan desa sebagai komunitas berpemerintahan sendiri (self-governing community) yang berpegang pada asas demokrasi, yang muaranya pada terwujudnya pemerintahan desa yang akuntabel melalui penerapan keterbukaan informasi.
Namun, kondisi tersebut hingga kini belum berjalan sesuai harapan. Demikian disampaikan oleh Peneliti Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Bejo Untung dalam acara Expert Meeting Perumusan Konsep Tranparansi dan Akuntabiitas Pemerintahan Desa di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Mei 2017, “Belum ada laporan tentang penyelenggaraan keterbukaan informasi yang sistematis dari Pemdes, kecuali informasi yang disampaikan dalam papan-papan informasi,” ungkap Bejo. “Informasi yang disampaikan lebih bersifat instruksi dari kabupaten, seperti pembuatan baliho tentang APB Desa,” sambungnya menerangkan.
Expert meeting ini sendiri dimaksudkan untuk mendapatkan input dari para pakar untuk penyempurnaan Pedoman Standar Layanan Informasi Publik Pemerintahan Desa (SLIP Desa) yang drafnya telah disusun oleh Komisi Informasi Pusat (KIP) dan PATTIRO. Selain pakar, kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan dari beberapa lembaga negara, antara lain Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombusdman Republik Indonesia (ORI).
Spesialis Desa PATTIRO, Agus Salim menambahkan, keberadaan petunjuk dirasa mendesak mengingat, ketidakmampuan Desa membuka informasi pada umumnya belum adanya petunjuk teknis yang yang membantu Pemdes Desa untuk menjalankan keterbukaan informasi tersebut.
“Seringkali warga desa meminta informasi langsung ke setiap perangkat yang ditemui, belum ada standar mekanisme bagi masyarakat maupun Pemdes terkait permintaan informasi,” imbuh Agus. Menurutnya, melalui SLIP Desa, Desa nantinya dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan, di sisi lain pemerintah kabupaten didorong untuk memberikan dukungan berupa penyediaan medianya.
Terkait dengan SLIP ini sendiri, beberapa rekomendasi telah diberikan oleh para peserta expert meeting. Pertama, materi yang tertuang dalam SLIP semestinya diselaraskan dengan nature atau kebiasaan yang selama ini telah berkembang secara kultural dan turun temurun di desa. Petunjuk teknis yang bersifat administratif ini semestinya dapat diterapkan secara interplay dengan kultur masyarakat. Kedua, SLIP Desa mesti dapat memperkuat masyarakat desa dalam proses pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Melalui keterbukaan informasi diharapkan warga dapat berpartisipasi sehingga akan mewujudkan akuntabilitas Pemdes. Ketiga, SLIP Desa harus diselaraskan dengan peraturan serupa yang telah ada, misalnya Permendagri No. 2/2017 tentang Standar Pelayanan Minimum Desa. Dalam Permendagri tersebut juga terdapat norma tentang pengaturan penyediaan data dan informasi, terutama tentang kependudukan dan pertanahan. Keempat, perlu dijelaskan relasi antara Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dengan PPID Desa agar relasi tersebut dapat mendorong penguatan bagi PPID Desa. Selebihnya, pihak PATTIRO dan KIP semestinya dapat berkoordinasi dengan Kantor Staf Presiden yang saat ini tengah mengembangkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Satu Data. (AR/BJ)