Undang-undang desa di Indonesia : Sejalan atau bertolak belakang dengan hukum pemerintahan yang berlaku?

2017_11_01_MAVC_Indonesia’s_Village_Law_Enabler_or_Constraint_for_MoreAccountableGovernance_Page_01Berbagai upaya memajukan dan menyejahterakan desa telah dilakukan berbagai pihak dan mencapai puncak  pencapaian dengan diundangkannya UU Desa yang dinilai sebagai kebijakan paling progresif sepanjang sejarah perjuangan desa. Kebijakan dimaksud diantaranya terkait dengan Dana Desa, yang sumbernya relatif banyak,  sebagaimana disebutkan dalam UU Desa Pasal 72 ayat 1 yang menyatakanpendapatan desa bersumber dari: pendapatan asli desa (hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong-royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa); alokasi APBN; bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota (paling sedikit 10%); alokasi dana Desa (bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dengan besaran minimal 10% setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus); bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota; hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; serta lain-lain pendapatan desa yang sah.  Selain itu, jika PemerintahKabupaten/Kota tidak memberikan Alokasi Dana Desa sesuai ketentuan, maka Pemerintah (pusat) dapat “menghukum” daerah dengan melakukan penundaan dan atau pemotongan dana yang sedianya diterima daerah tersebut, yaitu sebesar alokasi dana perimbangan dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa (Pasal 72 ayat 6 UU Desa). Ini merupakan kebijakan yang progresif. Pemberian dana untuk desa dari Pemerintah pusat misalnya, selama ini tidak pernah ada. Besarannya pun tidak main-main. Jika dikalkulasi, tiap desa setidaknya mendapat sekitar Rp700 juta per tahun. Begitu pula dengan dana untuk desa sebesar 10% yang bersumber dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dana dimaksud bukan hanya dana yang ditransfer ke daerah.  Dengan besaran dana keseluruhan mencapai Rp104,6 triliun, jika dibagi sekitar 72.000 desa, maka total dana yang diterima tiap desa mencapai angka Rp1,4 miliar per tahun per desa. Kebijakan progresif lainnya terkait dengan kewenangan desa. Desa kini memiliki sejumlah kewenangan mulai dari kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, hingga pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa (Pasal 18). Bandingkan dengan kewenangan desa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (yang telah direvisi) Pasal 206, yang tidak secara spesifik memberi perhatian kepada kewenangan desa karena hanya menyebut bahwa kewenangan desa merupakan bagian dari urusan pemerintah yang didistribusikan menjadi kewenangan desa.

Dengan pemikiran ini, penelitian ini bertujuan untuk menguji pelaksanaan UU Desa, dan pertimbangkan keadaan di mana ia bisa membantu memberi pemerintahan desa – terjebak selama berpuluh-puluh tahun dalam bidang politik patrimonialisme – karakter yang lebih demokratis. Juga berusaha menggali faktor-faktor yang mempengaruhi individu kepala desa menjadi reformis. Dalam konteks kerja PATTIRO yang lebih luas, studi ini ditetapkan sebagai pembelajaran tentang pelaksanaan UU Desa yang dapat mempromosikan praktik yang baik di tingkat lokal pemerintahan. Untuk membaca lebih jauh mengenai hasil studi ini, silahkan membaca atau mengunduhnya dibawah ini. Laporan hasil studi masih tersedia dalam Bahasa Inggris.

Publikasi

Publikasi Lainnya

Newsletter

Scroll to Top