Pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selama Pemilu 2019 cukup marak. Sayangnya penegakan hukum berupa sanksi terhadap ASN yang melanggar sangat lemah.
Hal ini disampaikan oleh Program Manager PATTIRO, Bejo Untung dalam Diskusi Publik bertema Refleksi Pemilu 2019: Netralitas ASN dan Kualitas Demokrasi Prosedural, yang diselenggarakan bersama oleh PATTIRO, KASN, Bawaslu RI, dan KPPOD di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Bejo menjelaskan, sikap netral harus dipertahankan oleh ASN dalam ranah politik. Hal ini secara tegas diatur dalam UU ASN, UU No. 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) PP No. 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Namun sayangnya, masih banyak ASN yang melakukan pelanggaran netralitas dalam masa Pemilu 2019 lalu. Hasil pemantauan PATTIRO, KPPOD, Perkumpulan Inisiatif Bandung, PATTIRO Semarang, PATTIRO Malang, serta jaringan LSM di empat kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya menemukan sedikitnya 89 kasus pelanggaran.
“Dari 89 kasus yang ditemukan selama periode pemantauan dari Maret hingga Mei tersebut, 66 di antaranya banyak ditemui di media sosial. Jenis-jenis pelanggaran di media sosial yang biasanya dilakukan adalah mengunggah gambar atau foto peserta Pemilu dan menanggapinya dalam bentuk komentar dan tanda like,” jelas Bejo.
Ia menambahkan, selain melalui media sosial, pelanggaran netralitas ASN selama Pemilu 2019 juga ditemukan secara langsung, hal ini muncul dalam beberapa bentuk pelanggaran.
“Jenis-jenis pelanggaran netralitas ASN yang ditemui secara langsung antara lain adalah menghadiri deklarasi dukungan terhadap peserta Pemilu (8 kasus), terlibat dalam kampanye dan mengadakan kegiatan yang menunjukkan keberpihakan (8 kasus), mobilisasi orang lain untuk mendukung peserta Pemilu (4 kasus), menjadi narasumber pada acara yang diselenggarakan oleh peserta Pemilu (2 kasus), dan memasang alat peraga kampanye (1 kasus),” tambah Bejo.
Menyikapi hal ini, Bejo mengungkapkan, PATTIRO mendorong Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai lembaga yang diberikan mandat mengawasi netralitas ASN untuk lebih proaktif menjaring laporan dari masyarakat dan menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan dan pembuktian. Lebih penting dari hal itu, KASN diharapkan menyusun laporan dengan pembuktian yang kuat, sehingga rekomendasi yang diajukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sebagai atasan ASN dapat ditindalanjuti dengan penegakan sanksi.
“Sebagaimana diatur dalam UU ASN, KASN menyampaikan laporan pelanggaran kode etik dan kode perilaku ASN kepada PPK sekaligus merkomendasikan kepada PPK untuk menetapkan sanksi bagi ASN yang bersangkutan. Jika PPK tidak menjalankan rekomendasinya, KASN dapat melaporkan ke Presiden dan merekomendasikan penerapan sanksi kepada PPK tersebut”, ungkap Bejo.
PATTIRO juga mendorong agar KASN melakukan pendekatan kolaboratif dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengoptimalkan dukungan agar rekomendasi yang dikeluarkan dapat dipatuhi oleh PPK.
“Hal ini penting dilakukan karena selain KASN, KemenPAN RB dan BKN merupakan kementerian/lembaga yang bertanggungjawab melakukan pembinaan ASN. Sedangkan Kemendagri bertanggungjawab melakukan pembinaan Kepala Daerah, sehingga memiliki posisi yang cukup strategis untuk mendorong PPK dari unsur Kepala Daerah untuk mematuhi rekomendasi ASN,”tegas Bejo. (FM)