PATTIRO menyelenggarakan Diskusi Stakeholders membahas Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Perhutanan Sosial (PS), pada 23 Februari 2021. Diskusi yang diselenggarakan secara virtual ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dari para stakeholer terkait dengan studi yang sedang dilakukan oleh PATTIRO. Hadir sebagai narasumber ahli adalah Suraya Afif (Peneliti), Sulistiyono (Pokja Gender Provinsi NTB) dan Yulius Hendra (Fasilitator Nasional PUG-PPRG, PATTIRO).
Hasil sementara dari studi tersebut menunjukkan setidaknya ada empat isu gender yang mengemuka pada PS. Pertama, pengarusutamaan gender belum ditekankan dalam proses rekrutmen calon pendamping. Kebijakan rekrutmen belum secara spesifik memberikan afirmasi kepada calon pendamping perempuan. Pengarusutamaan gender juga masih belum di diinternalisasikan ke dalam modul-modul pelatihan bagi para calon pendamping.
Kedua, mekanisme administrasi proses pengajuan izin PS masih sangat bias gender. Kebijakan yang ditetapkan tentang pengajuan izin PS masih mensyaratkan kepala keluarga sebagai pihak yang dapat melakukan pengajuan. Dampak dari ketentuan ini, sebagian besar izin PS dipegang oleh laki-laki yang notabene secara umum berperan sebagai kepala keluarga. Dampak selanjutnya, perempuan seringkali tidak banyak dilibatkan dalam kepengurusan kelompok izin PS dan tidak pula dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan, sehingga program dan kegiatan yang dirumuskan seringkali tidak merefleksikan kebutuhan dan permasalahan perempuan.
Ketiga, isu-isu gender belum dijadikan sebagai acuan dalam proses pemetaan kawasan PS. Pemetaan kawasan sebagian besar masih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan kearifan lokal. Padahal persoalan gender cenderung banyak terjadi pada komunitas masyarakat di sekitar hutan yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan, seperti marjinalisasi, gender stereotyping, beban ganda perempuan, bahkan kekerasan (gender-based violence).
Keempat, pengelolaan data yang diperoleh dari proses monitoring dan evaluasi masih belum dilakukan secara terpilah antara laki-laki dan perempuan. Padahal data pilah penting sebagai acuan dalam menyusun program intervensi untuk perbaikan kebijakan maupun tatakelola. Ketiadaan data pilah seperti ini menyebabkan pengarusutamaan gender tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan program-program PS.
Menanggapi temuan awal studi yang dilakukan oleh PATTIRO, Suraya Afif mengatakan kesenjangan gender yang terjadi di PS dilatarbelakangi lemahnya keterlibatan perempuan dalam pengelolaan PS. Pengurus Kelompok Perhutanan Sosial saat ini 94% adalah laki-laki. “Pengelolaan SDA di Indonesia sampai saat ini belumlah memperhatikan relasi gender. Penerima manfaat program-program yang ada saat ini kebanyakan adalah laki-laki”, ujar Suraya Afif.
Beragam kesenjangan gender di PS berimbas pada ketimpangan kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender terjadi baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Proses rekrutmen, pendampingan, hingga pelaporan pengelolaan PS belum responsif gender.
Dalam pengelolaan lembaga kelompok PS, peran perempuan sebagai pengelola teknis PS masih rendah, karena kendala sosial budaya dan politik. Hal ini dapat berdampak pada lemahnya pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan perempuan melalui PS.
Perempuan jarang mendapatkan pembinaan untuk peningkatan kapasitas, bahkan izin pengelolaan PS untuk mereka juga dibatasi. Perumusan kebijakan hingga pencanaan kegiatan tekait PS juga belum mengakomodasi kepentingan perempuan.
Menurut Yulius, strategi yang dapat dilakukan terkait dengan kondisi ini adalah dengan mengarusutamakan gender dalam keseluruhan bisnis proses PS. Praktik PUG dalam PS bukan sebatas persoalan teknokratis. “PUG bukan hanya sebatas persoalan teknis pragmatis, tetapi relasi kuasa di dalamnya juga penting” kata Yulius.
Sulistiyono menambahkan bahwa penting juga memperhatikan kondisi lokal dan bisa juga memberikan ruang-ruang yang mudah diakses untuk perempuan dalam PUG.
Dengan melaksanakan PUG di sektor Perhutanan Sosial, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dapat dikembangkan. Hal ini sebagaimana komitmen pemerintah dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 dan juga komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan dalam implementasi PUG di sektor kehutanan dan lingkungan hidup.