Gagasan untuk menerapkan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi atau Ecological Fiscal Transfer (EFT) di Indonesia terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini didorong oleh inisiatif koalisi organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah bersama dengan The Asia Foundation (TAF) yang mengusulkan konsep Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) sekitar tahun 2018. Hingga saat ini, konsep TAPE dan TAKE telah diadopsi di enam daerah serta tengah dibahas di 39 daerah lainnya, meliputi 13 Provinsi dan 26 Kab/Kota di Indonesia. Di tingkat nasional, koalisi masyarakat sipil juga tengah mendorong diterapkannya Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE) dari Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Hal ini mengemuka dalam diskusi publik online yang diselenggarakan oleh PATTIRO dan Indonesia Budget Center (IBC) melalui dukungan TAF pada Selasa, 25 Mei 2021. Kegiatan yang bertema “Perkembangan Ecological Fiscal Transfer (EFT) di Indonesia” ini dihadiri oleh lebih kurang 150 orang terdiri dari 81 laki-laki dan 69 perempuan serta berasal dari kalangan pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi, lembaga donor, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat umum. Hadir sebagai narasumber peneliti Conservation International Jonah Busch, Kepala Subdirektorat Dana Bagi Hasil Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mariana Dyah Savitri, Kepala Subbagian Penyusunan Anggaran Biro Perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Didit Sulastyo, dan peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) KLHK Fitri Nurfatriani.
Dalam pengantar diskusinya, Direktur Eksekutif PATTIRO Bejo Untung menyoroti perkembangan EFT di Indonesia sudah berjalan sangat signifikan. Hal ini ditandai dengan adopsi TAPE dan TAKE di berbagai daerah serta proses pembahasan yang sedang masif dilakukan di berbagai daerah. Menurutnya, perkembangan ini perlu di disampaikan wacananya ke tingkat global agar dukungan terhadap EFT di Indonesia menjadi lebih meluas. Sementara itu, Country Representative TAF Indonesia Sandra Hamid menyampaikan pengembangan EFT yang telah dilakukan di daerah perlu diimbangi dengan adanya kebijakan TANE di tingkat nasional agar upaya mendorong perlindungan lingkungan hidup dapat terus berkelanjutan, termasuk sebagai upaya dalam mendukung pencapaian target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Dalam kesempatan tersebut Direktur IBC Roy Salam mewakili koalisi organisasi masyarakat sipil memaparkan perkembangan TAKE, TAPE, dan TANE di Indonesia. Menurutnya, sebanyak 13 Provinsi dan 26 Kab/Kota telah didampingi oleh organisasi masyarakat sipil untuk menerapkan konsep TAKE maupun TAPE. Dalam praktiknya, pendekatan EFT yang diterapkan telah disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan masing-masing daerah. “Di Kabupaten Siak, Riau, koalisi mendorong Indeks Kampung Hijau menjadi salah satu indikator yang pendanaannya didorong dengan skema TAKE, sedangkan indikator yang diterapkan dalam TAPE di Provinsi Kalimantan Utara secara umum diarahkan untuk mempertahankan ruang terbuka hijau, mengurangi deforestasi, mengurangi pencemaran air, udara dan pengelolaan sampah,“ kata Roy. Lebih lanjut, koalisi organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional, antara lain PATTIRO dan IBC, juga telah menyampaikan gagasan TANE kepada pemerintah diantaranya melalui skema Dana Insentif Daerah (DID). Koalisi mengusulkan agar penilaian kinerja DID dapat diperluas tidak hanya kategori kinerja pengelolaan sampah namun menjadi lebih komprehensif dengan kategori kinerja perlindungan lingkungan lainnya.
Sementara itu, Fitri Nurfatriani menyampaikan apresiasi atas upaya yang telah didorong oleh kelompok masyarakat sipil. Dirinya bersama timnya di P3SEKPI juga telah melakukan kajian tentang EFT dan salah satu temuannya menunjukkan tantangan dalam implementasi EFT di Indonesia yaitu terkait pemilihan indikator yang ditetapkan dalam skema EFT. Menurutnya, pemilihan indikator ini harus disesuaikan dengan dengan kondisi dan kebutuhan daerah serta yang terpenting adalah ketersediaan data secara periodik. Hal ini juga penting untuk dipertimbangkan ketika mendorong EFT di tingkat nasional, di mana pemilihan indikator perlu melihat ketersediaan data di daerah. “Beberapa data seperti Indeks Kualitas Data (IKU) dan Indeks Kualitas Air (IKA) mungkin tidak semua kabupaten atau provinsi sudah bisa menghitung. Sehingga ini menjadi pertimbangan kita apabila ingin menentukan indikator EFT terutama di level nasional,” ujar Fitri.
Fitri berharap, konsep TANE ini dapat diadopsi oleh pemerintah sehingga Indonesia dapat menyusul negara-negara lain yang terlebih dahulu menerapkan EFT secara nasional. Sebagaimana disampaikan oleh Jonah Busch, saat ini ada beberapa negara yang telah menerapkan EFT seperti Brasil, Portugal, China, India, dan Perancis. Menurut Jonah, dukungan berbagai negara di dunia untuk menyediakan anggaran EFT setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 jumlahnya mencapai US$ 6 Miliar menjadi US$ 23 Miliar. Meski demikian, jumlah ini masih sangat minim dibandingkan dengan jumlah transfer fiskal disalurkan negara-negara tersebut ke daerah yang mencapai US$4,9 Triliun/Tahun. Dari sisi skema EFT, Jonah menekankan bahwa belajar dari penerapan EFT di negara lain, skema EFT setiap negara tidak harus sama, namun disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara. Senada dengan Fitri, Jonah juga menyoroti pentingnya ketersediaan data sebagai faktor penting dalam menentukan indikator EFT serta peran kelompok masyarakat sipil agar dapat mendorong payung hukum EFT yang lebih kuat di daerah guna menjamin keberlanjutan EFT.
Narasumber dari Kemenkeu Mariana Dyah Savitri mengatakan, skema Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk ekologi saat ini telah diterapkan melalui Dana Bagi hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA) khususnya DBH Dana Reboisasi, Dana Alokasi Khusus (DAK), DID, hibah daerah dan Dana Desa. “Secara umum, dana-dana yang ditransfer ke daerah tersebut penggunaannya untuk mendukung ekologi,“ kata Mariana. Terkait dengan peluang EFT melalui DID dirinya berpendapat sebagai bagian dari TKDD, DID perlu menjadi instrumen untuk mendorong perilaku daerah yang lebih baik dalam dalam pemeliharaan lingkungan. Kemenkeu berkomitmen mendorong penerapan skema pengelolaan keuangan berbasis kinerja dan reward serta pendekatan pengelolaan keuangan yang lebih efektif.
Sementara itu Didit Sulastyo menyampaikan apresiasi kepada masyarakat sipil dan akademisi yang sudah menginisiasi konsep TAKE, TAPE, dan TANE. Didit mengatakan saat ini KLHK tengah melakukan beberapa corrective action terkait penguatan kinerja pengelolaan LHK yaitu melakukan kajian untuk mengembangkan indikator DID bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Prosesnya saat ini sedang memasuki tahap kajian mendalam seperti prinsip dan syarat pemilihan indikator terpilih, kriteria dan indikator yang terpilih dan simulasi indikator DID dengan mempertimbangkan pembobotan dan penilaian. Adanya kajian ini menurutnya karena indikator DID saat ini belum sepenuhnya mendorong dan mengintegrasikan isu pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup berkelanjutan.
Adanya pengembangan indikator DID LHK yang tengah dilakukan oleh KLHK sangat relevan dengan upaya koalisi masyarakat sipil mendorong kebijakan TANE. Pengembangan indikator DID perlu diarahkan untuk mewujudkan perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan yang lebih luas. (Andwi Joko/Ramlan Nugraha)