Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) telah menyusun Gender Assessment Tools (GAT) dalam Perhutanan Sosial. Tools ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai isu gender dalam pengelolaan perhutanan sosial mulai dari tahapan pra dan pasca persetujuan perhutanan sosial hingga kebijakan dan kelembagaan perhutanan sosial di daerah. Hasil penilaian ini diharapkan dapat menjadi bahan awal untuk menyusun rekomendasi kebijakan perhutanan sosial yang lebih responsif gender kepada pemerintah pusat maupun daerah.
Sebagai tools yang digunakan untuk mengidentifikasi isu gender dalam perhutanan sosial, PATTIRO bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organization) di daerah, seperti HaKa Aceh, Qbar Sumatera Barat, JARI Borneo Barat, LBBT Kalimantan Barat, KBCF Kalimantan Timur, TLKM Sulawesi Selatan, dan Panah Papua. Untuk memberikan pemahaman kepada mitra dalam melakukan pengisian GAT, PATTIRO melakukan pendampingan berupa asistensi teknis agar pengisian instrumen penilaian GAT yang sedang dilaksanakan oleh para mitra sesuai dengan prosedur dan tujuan yang diharapkan.
Kegiatan pendampingan dilaksanakan secara daring dan telah dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan, yaitu pada 30 Juni dan 14-15 Juli 2022. Metode yang dilakukan yaitu sharing session membahas perkembangan pengisian instrumen penilaian, serta kendala dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing mitra di lapangan.
Pada pertemuan pertama (30/6), agenda yang dilakukan adalah paparan tentang laporan hasil kaji cepat yang dilaksanakan PATTIRO pada tahun 2021 tentang isu gender pada perhutanan sosial di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagai narasumber yaitu Wawanudin selaku tim peneliti dari PATTIRO yang melakukan studi tersebut. Dalam acara tersebut, narasumber menyampaikan hasil penelitian berupa temuan lapangan mengenai isu gender dalam perhutanan sosial di NTB. Melalui paparan ini peserta mendapatkan gambaran mengenai berbagai isu gender yang terjadi dalam pengelolaan perhutanan sosial di daerah, sehingga nantinya dapat membantu untuk memahami tujuan dari pengisian GAT dan analisa dari data dan informasi yang didapatkan dari penilaian yang dilakukan.
Pada pertemuan kedua, pendampingan teknis dilakukan berdasarkan regional asal lembaga mitra, dan diselenggarakan pada 14 -15 Juli 2022. Pembagian regional ini agar dapat menggali secara lebih dalam perkembangan pengisian dari masing-masing daerah, termasuk memberikan waktu yang cukup untuk sharing session kondisi pengelolaan perhutanan sosial di masing-masing daerah. Dalam kegiatan tersebut, peserta yang hadir berasal dari HAkA Aceh, Qbar Sumbar, Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) dan Kawal Borneo Community Foundation (KBCF), Sikola Mombine, Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM) dan Panah Papua.
Dalam proses pendampingan, masing-masing mitra menyampaikan terlebih dahulu perkembangan dari pengisian GAT yang sudah dilakukan, dan dilanjutkan dengan sesi pendalaman terhadap setiap pertanyaan dari GAT. Kegiatan yang difasilitasi oleh oleh tim program PATTIRO yaitu Diah Mardhotillah dan Eva Nurcahyani ini menghasilkan beberapa temuan lapangan terkait dengan isu kesenjangan gender dalam praktik pengelolaan perhutanan sosial di daerah.
Desti Ariani, Program Officer Yayasan HAkA Aceh mengungkapkan, saat ini lembaganya tengah mendampingi kelompok pengelola Hutan Desa di Desa Mendale, Kabupaten Aceh Tengah dan Desa Padang, Kabupaten Aceh Barat Daya. Kedua daerah ini merupakan wilayah pengelolaan KPH Wilayah V Aceh. Berdasarkan hasil pengamatannya, perempuan sudah terlibat dalam tahap awal pra persetujuan perhutanan sosial yaitu kegiatan penelaahan dokumen PIAPS. Bentuk keterlibatan ini adalah perempuan yang menjadi anggota perempuan ikut turun ke lapangan langsung mengecek peta PIAPS. Namun demikian, tidak semua masyarakat mendukung perempuan ikut ke lapangan. Menurutnya, masih ada kekhawatiran dan stigma bahwa perempuan secara fisik tidak akan mampu untuk turun langsung ke lapangan serta menganggap bahwa perempuan seharusnya fokus mengerjakan pekerjaan domestik saja. Hal ini secara tidak langsung menurunkan mental perempuan untuk aktif dalam kegiatan penelaahan.
“Anggota Perempuan kelompok perhutanan sosial di Desa Padang, Kab. Aceh Barat Daya sudah sangat terlibat aktif dalam melakukan penelaahan dokumen PIAPS serta turun langsung ke lapangan. Akan tetapi masih banyak stigma bahwa perempuan secara fisik dianggap lemah, sehingga tidak akan sanggup jika harus turun ke lapangan langsung”, tutur Desti.
Lebih lanjut, Desti menyampaikan keterlibatan perempuan di wilayah dampingannya juga ikut dalam pendataan penggarap atau kegiatan identifikasi subjek perhutanan sosial. Namun demikian, keterlibatan perempuan muncul dari kemauan sendiri dan dorongan dari HAkA setelah mengikuti pelatihan dll. Setelah adanya peningkatan kapasitas kepada para perempuan, baru muncul KPH dan memberikan support serupa berupa peningkatan kapasitas. Namun demikian dalam proses identifikasi subjek perhutanan sosial, dirinya belum menemukan adanya data terpilah perempuan dan laki-laki. Pun demikian dengan KPH menurutnya tidak memiliki data pilah tersebut.
Irmah Rusjal dari Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) turut membagikan pengalamannya dalam mendampingi kelompok perhutanan sosial di Kalimantan Timur. Menurutnya, keterlibatan perempuan masih dominan di kegiatan pasca persetujuan perhutanan sosial. “Menurut pengalaman kami, perempuan sangat berpengaruh dalam proses pasca persetujuan, yaitu mengelola Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), karena perempuan yang langsung mengkoordinir dalam proses produksi misalnya dalam pembuatan keripik, asinan dan buah-buahan” tambah Irmah. Agar perempuan terlibat dari awal, menurutnya sangat penting untuk hadir dalam sosialisasi persetujuan PS.
Sementara itu, Hero, perwakilan dari Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) berpendapat posisi subordinasi perempuan dalam pengelolaan hutan selain terjadi karena konstruksi sosial, juga karena sistem yang mengharuskan pengumpulan data yang menggarap lahan yang dikumpulkan yaitu KTP dan KK suami, sehingga akses dan partisipasi perempuan dalam perhutanan sosial masih sangat terbatas. “Sejak awal pengumpulan data, petugas meminta data KTP dan KK suami sebagai kepala keluarga, sehingga data perempuan yang menggarap lahan masih sangat terbatas” ujar Hero yang aktif mendampingi kelompok PS di wilayah Kalimantan Barat.
Kegiatan pendampingan pada pertemuan kedua ini masih berfokus pada udpate dan penggalian situasi yang terjadi di daerah masing-masing. Sebagai tindak lanjut, dalam satu hingga dua minggu ke depan para peserta akan melengkapi kembali GAT termasuk wawancara lapangan untuk mendapatkan data dan informasi.