Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) didukung The Asia Foundation mengadakan pelatihan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) dalam Perhutanan Sosial pada Senin-Selasa (30-31/6). Pelatihan diselenggarakan secara daring diikuti oleh sekitar 40 orang yang berasal dari 21 organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para peserta terkait konsep gender secara umum dan kemampuan mengidentifikasi isu-isu gender dalam Perhutanan Sosial, baik dari sisi kebijakannya maupun seluruh tahapannya. Identifikasi isu gender dilakukan dengan menggunakan instrumen Gender Assessment Tools (GAT) yang telah disusun oleh PATTIRO sebelumnya.
Pelatihan dibuka dengan talkshow untuk membedah perspektif gender dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Sekretaris Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Pokja PUG Ditjen PSKL), Habibi, S.Hut., MM, yang hadir sebagai narasumber menekankan bahwa perspektif gender menjadi isu yang penting dan diperhatikan dalam pembuatan kebijakan pembangunan di lingkup Ditjen PSKL, khususnya dalam Perhutanan Sosial. Harapannya, kebijakan yang dikeluarkan dapat mengakomodasi keadilan gender dan menjadi jalan keluar atas ketimpangan serta kesenjangan gender dalam pembangunan. Saat ini Ditjen PSKL telah menerbitkan berbagai kebijakan terkait Perhutanan Sosial yang telah mengakomodasi pengarusutamaan gender, antara lain SK Dirjen PSKL No. SK.28/PSKL/SET/OTL.0/12/2017 dan SK Dirjen PSKL No. SK.9/PSKL/SET/REN.0/2/2021 yang mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas pengarusutamaan gender dalam implementasi kebijakan dan program Perhutanan Sosial.
Masuk ke agenda pelatihan, fasilitator dari PATTIRO, Yulius Hendra Hasanuddin, mengajak para peserta untuk menyamakan pemahaman tentang perspektif gender yang dimaksud dalam pelatihan tersebut. Terkait dengan hal tersebut perlu didiskusikan terkait dengan pengarusutamaan gender, situasi kesenjangan gender, dan kesenjangan gender dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya Perhutanan Sosial. Selain itu, Yulius juga menyampaikan contoh hasil studi PATTIRO terkait isu kesenjangan gender di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai gambaran bagi para peserta. Instrumen GAT juga nantinya akan menjadi alat bantu para peserta dalam melakukan penelitian terkait pengarusutamaan gender dalam Perhutanan Sosial.
Pada hari kedua, pelatihan diselenggarakan dalam bentuk diskusi kelompok. Para peserta saling berbagi pengalaman melakukan pendampingan di wilayah dampingannya masing-masing terkait mendorong program Perhutanan Sosial yang responsif gender. Beberapa peserta mengutarakan bahwa dalam praktiknya di lapangan, laki-laki masih mendominasi dalam program Perhutanan Sosial. Hera dari JARI Borneo Barat menyampaikan, penggarapan hutan masih didominasi oleh laki-laki serta Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) belum mengadakan pendampingan terkait pengarusutamaan gender untuk masalah ini.
“Mengenai data penggarap, kami mendorong kelompok perempuan terlibat dan masalah penggarapan mayoritas laki-laki. Ini menjadi PR besar, terkadang kepengurusan semua laki-laki, serta tidak ada pendamping dari KPH terkait mainstreaming gender,” ujar Hera lebih lanjut.
Peserta lain, Rialdy dari organisasi Yayasan Harapan Ibu (YHI) Papua, menambahkan bahwa posisi subordinasi perempuan dalam pengelolaan hutan terjadi karena struktur sosial yang berlaku di masyarakat tersebut. “Pelibatan perempuan dalam mengelola kawasan hutan sangat kecil karena hutan dikuasai oleh kepala suku yang merupakan laki-laki,” tambah Rialdy. Namun demikian, Rialdy menyampaikan bahwa pihak gereja bisa mendorong perempuan terlibat karena gereja memiliki pengaruh yang cukup besar. “Pihak gereja bahkan bisa mendorong PERDA untuk melibatkan perempuan,” ujar Rialdy.
Intan dari LiVE Bengkulu turut membagikan pengalamannya mendorong pengarusutamaan gender dalam Perhutanan Sosial. Menurut dia, proses ini diawali dengan melihat data Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dan berkoordinasi dengan KPH. Setelah itu, mereka berkoordinasi dengan pemerintah desa yang wilayahnya masuk dalam PIAPS, untuk mengusulkan agenda pemberdayaan masyarakat melalui Perhutanan Sosial termasuk mendorong keterlibatan perempuan.
“Kami juga mencoba bertemu dengan masyarakat penggarap dari kelompok ibu-ibu dan mendorong mereka untuk bersama-sama mendata siapa saja yang menggarap lahan di Kawasan,” tambah Intan.
Pelatihan ini ditutup dengan pembekalan kepada peserta untuk mengumpulkan data lebih lanjut tentang isu-isu gender dalam Perhutanan Sosial. Data-data tersebut kemudian akan dijadikan bahan untuk proses pengarusutamaan gender dalam Perhutanan Sosial di wilayah dampingan masing-masing. (JD)