Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menjadi salah satu strategi prioritas pemerintah Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk membangun lingkungan hidup serta meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Berdasarkan hasil kajian PATTIRO, tidak tercapainya target RHL pada periode sebelumnya disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adanya kendala hak dan status lahan kritis yang akan direhabilitasi, belum optimalnya pengendalian pemanfaatan ruang di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), kurangnya sumber pendanaan RHL dari APBN sehingga kemampuan rehabilitasi pemerintah hanya seluas 200.000 ha, belum tertib dan akuratnya pelaporan RHL menjadikan data RHL yang berasal dari non APBN dan APBD tidak terlaporkan dengan baik, serta belum adanya sistem untuk mengintegrasikan data RHL dari APBN, Non APBN, dan Anggaran Pemasukan dan Belanja Daerah (APBD).
Guna merumuskan rekomendasi kebijakan RHL kepada pemerintah, PATTIRO melalui dukungan International Development and Research Centre (IDRC) dan OAK Foundation, saat ini sedang melakukan penelitian efektifitas program RHL dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini bekerja sama dengan Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) sebagai mitra daerah. Pada perkembangannya, PATTIRO telah mendapatkan hasil temuan awal efektivitas RHL yang didapatkan dari hasil studi literatur, wawancara stakeholder dan observasi lapangan. Hasil temuan RHL meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pada RHL, keikutsertaan masyarakat dalam RHL, tutupan hutan, koordinasi kelembagaan dalam program RHL, dan dampak ekonomi dari program RHL.
Guna menyampaikan hasil temuan awal penelitian, pada Rabu (28/9) PATTIRO menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) secara daring dengan mengundang para stakeholder daerah yang menjadi informan dalam penelitian yaitu dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Bappeda dan Dinas Lingkungan Hidup di Kabupaten Berau dan Kutai Timur, Pemerintah Desa/Kampung, Kelompok Tani Hutan, serta perwakilan masyarakat sipil. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkonfirmasi kembali hasil temuan awal terhadap aspek-aspek yang digali dalam pelaksanaan RHL.
Asiswanto Darsono, Program Officer PATTIRO menyampaikan temuan awal penelitian ini memotret pelaksanaan RHL dari tiga sumber pembiayaan yaitu APBN, APBD dan Swasta. Potret pelaksanaan RHL ini dilihat dari aspek perencanaan dan penganggaran RHL, pelaksanaan RHL, dan monitoring evaluasi. Masing-masing aspek menekankan pada bagaimana implementasi RHL terhadap tutupan hutan, sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan.
Dari sisi sosial, pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan RHL oleh APBD lebih besar dibandingkan dengan APBN. Dalam kegiatan RHL yang dibiayai oleh APBN, keterlibatan masyarakat sangat minim, sebagian besar hanya sebagai pekerja saja pada saat penanaman oleh pihak ketiga. Hal ini berbeda dengan RHL yang bersumber dari APBD, khususnya dari Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR). Pelibatan kelompok penerima ijin perhutanan sosial sebagai pelaksana RHL tidak hanya saat penanaman saja, namun juga dlibatkan dalam tahap perencanaan dan monitoring evaluasi. Namun demikian, meskipun masyarakat telah terlibat dalam proses RHL, namun keterlibatan laki-laki masih sangat mendominasi kegiatan RHL.
Namun demikian, informasi mengenai program RHL dari pemerintah daerah dirasakan kurang oleh masyarakat. Tamin dari Kelompok Tani Hutan (KTH) Batu Numok menambahkan bahwa masyarakat kurang mendapat adanya sosialisasi pelaksanaan RHL dari Dinas ataupun pemerintah setempat. Kurangnya sosialisasi menyebabkan dirinya bersama pengurus KTH merasa kesulitan mengajak masyarakat untuk menjaga alam secara berkelanjutan, termasuk melakukan penanaman dan menjaga kelestarian hutan. Padahal, menurutnya, melalui RHL masyarakat dapat meningkatkan pendapatan. Dirinya mengakui, pendapatan bersih yang diterimanya dari kegiatan RHL berkisar antara 2-3 juta rupiah per bulan. Pendapatan ini menurutnya hanya dampak saja, yang paling utama adalah bagaimana kesadaran akan menjaga kelestarian hutan secara berkelanjutan.
Sementara itu, Bambang MJ dari Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur menuturkan, selain melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja dalam RHL, pelibatan masyarakat dalam RHL juga terlihat dalam penentuan lokasi RHL. Hal ini seperti yang diterapkan Dinas Lingkungan Hidup Kutai timur dimana sejak tahun 2020 pihaknya mulai mengubah pola penentuan lokasi RHL dengan melibatkan masukan masyarakat. Hasilnya, masyarakat cenderung lebih aktif baik pada saat penanaman maupun pemeliharaan, ujar Bambang MJ dari DLH Kutai Timur.
Pelaksanaan RHL harapannya juga dapat memberikan dampak kepada masyarakat di sekitar hutan. Sugino, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) KPHP Manubar menerangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu adanya pendampingan persiapan Perhutanan Sosial agar masyarakat bisa mengelola kawasan dengan Pemerintah. “Kami baru sebatas melaksanakan sosialisasi dan pendampingan untuk Perhutanan Sosial dan memberikan bantuan untuk kesejahteraan kelompok tani” ujar Sugino. Selain itu, masyarakat juga dapat terlibat dalam swakelola. “Terdapat pula kegiatan penghijauan berupa pembangunan hutan rakyat yang dapat dilakukan secara swakelola”, ujar Mohamad Subiyantoro, Kasie Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur.