Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) tidak akan berhasil apabila tidak ada keberlanjutan di dalamnya. Skema Perhutanan Sosial turut mendukung keberlanjutan RHL. Dalam memandang isu RHL, Bambang Supriyanto selaku Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan skema RHL dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan penghidupan (livelihood) masyarakat dalam konteks tata kelola kelestarian hutan, selain tentu saja meningkatkan stok karbon di hutan.
Hingga akhir November lalu, realisasi perhutanan sosial mencapai sekitar 5,2 juta ha. Dari luas tersebut, terdapat 875 ribu ha yang kondisinya tutupannya kurang dari 10 persen. “Oleh karena itu, dalam pendekatan Perhutanan Sosial dengan tutupan lahan di bawah 875.000 ha perlu pola RHL dengan skema wana tani (agroforestry),” ujar Bambang dalam sesi tanggapannya pada Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Efektivitas Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Penghidupan bagi Masyarakat yang diselenggarakan oleh PATTIRO pada Rabu, 30 November 2022 di Hotel Santika Jakarta.
Skema wana tani merupakan pola manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari. Skema ini dilakukan dengan mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengolahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Misalnya, mengkombinasikan penanaman tanaman kayu dan tanaman pangan pada lahan, mengembangkan tambak ikan di antara tanaman mangrove, dan mengembangkan tanaman rumput untuk pakan ternak diantara pohon. Dalam pelaksanaan RHL dengan pendekatan Perhutanan Sosial, penanaman dengan skema wana tani dilakukan dengan menjaring aspirasi masyarakat terkait kesesuaian lahan dan tanamana yang hendak ditanam. Hal ini mengikuti pola cocok tanam yang biasa dilakukan oleh masyarakat.
Manajer Program PATTIRO, Ramlan Nugraha, dalam paparannya terkait temuan awal tentang penelitian PATTIRO menyebutkan skema wana tani menjadi strategi pemerintah daerah dalam mendorong pelaksanaan RHL yang berkelanjutan. Namun, pemerintah daerah belum dapat memotret penurunan emisi gas rumah kaca dari hasil pelaksanaan RHL dengan skema wana tani tersebut, khususnya di ranah Perhutanan Sosial. Hal ini lantaran keterbatasan sumber daya manusia, perangkat, dan areal Perhutanan Sosial itu sendiri. “Padahal ini cukup penting di mana hasil RHL juga bisa dipotret dari penurunan emisi gas rumah kacanya,” ujar Ramlan.
Dalam implementasinya, manfaat RHL baru bisa dirasakan masyarakat setelah pohon yang ditanam menjadi besar. Namun, masyarakat di area Perhutanan Sosial tidak bisa menebang pohon tersebut untuk dinikmati hasilnya, tutur Prof. Didik Suharjito yang juga Staf Pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB). Hal ini menurutnya karena bibit yang ditanam masyarakat berasal dari dana pemerintah seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga ada proses audit terlebih dahulu sehingga masyarakat harus menunggu beberapa tahun. “Perlu ada inisiatif dari pemerintah seperti program tunda tebang yang dulu pernah di inisiasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ujarnya.
Dari perspektif pemerintah, pelibatan masyarakat dalam RHL juga menjadi hal yang sangat diperhatikan. Menurut Mery Simanjuntak dari Direktorat Rehabilitasi Hutan Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH), kebijakan RHL saat ini yang didorong oleh KLHK adalah mengutamakan swakelola masyarakat dan meminimalisir skema kontraktual. Wilayah yang sudah tersentuh oleh Perhutanan Sosial memiliki kelembagaan yang baik sehingga pemerintah dapat melaksanakan RHL di kawasan tersebut. “Kalau masyarakat tidak dilibatkan secara intens, keberhasilan dari program yang kita canangkan akan terkendala,” ujarnya. Hal serupa juga disampaikan Mulat Nugraha, Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) KLHK, menurutnya pelaksanaan RHL di wilayah Perhutanan Sosial diselenggarakan oleh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPH), adapun pemerintah hanya berperan sebagai pendorong program.
Ketika pelaksanaan RHL masih bersifat kontraktual, keberlanjutan RHL tidak memiliki kepastian jaminan lantaran setelah kontrak selesai tidak ada sanksi terhadap kontraktor apabila tanaman yang sudah ditanam mati. “Jadi tanamannya mati atau hidup setelah kontrak selesai bukan menjadi urusan kontraktor lagi. Oleh karena itu, isu pengelolaan ini penting untuk di bahas,” ujar Dr. Nur Hygiawati, Direktur Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas.
Narasumber lain, M. Shofwan Setiawan yang mewakili Biro Perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memaparkan keberhasilan RHL yang menunjang kesejahteraan masyarakat melalui ekowisata. Program RHL menjadi teladan dalam upaya pemulihan lingkungan dan lahan dan pemulihan ekosistem pesisir dengan menaungi rehabilitasi terumbu karang di laut. Selain itu, RHL juga memberikan makna rehabilitasi hutan dan lahan yang membantu menyelesaikan persoalan energi pangan serta obat-obatan.