Daerah kaya tambang seperti Kabupaten Aceh Barat, Lebong, Bojonegoro, dan Sumbawa Barat memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang tinggi lantaran merupakan daerah yang memiliki industri ekstraktif. Namun sayang, keempat daerah tersebut masih menghadapi tantangan berupa tingkat kemiskinan yang masih tinggi.
Berdasarkan kajian PATTIRO bekerja sama dengan Bojonegoro Institute, Akar Global Inisiatif, SOMASI NTB, dan MaTa Aceh, pada 2020-2023 persentase penduduk miskin di Kabupaten Aceh Barat, Lebong, Bojonegoro, dan Sumbawa Barat masih di atas persentase angka kemiskinan nasional, tetapi cenderung menunjukkan tren penurunan di setiap tahunnya, utamanya pada 2023.
Sumber: Hasil Olahan Tim Peneliti (2024)
Keempat kabupaten tersebut telah memiliki regulasi terkait pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). Namun, TKPKD yang sudah ada belum melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas. Pelibatan pemangku kepentingan yang lebih luas ini dapat menjaring aspirasi yang lebih beragam terkait program pengentasan kemiskinan di daerah.
Program pengentasan kemiskinan juga sudah masuk dalam dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RPKD) dan Rencana Aksi Tahunan (RAT). Namun, banyak program penanggulangan kemiskinan di kabupaten belum bersinergi dengan program yang ada di desa. Selain itu, belum ada mandat yang jelas untuk alokasi anggaran program penanggulangan kemiskinan. Alokasi Dana Desa (ADD) belum digunakan secara optimal untuk program pengentasan kemiskinan lantaran Sebagian besar sudah dialokasikan untuk penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa.
Perlu ada penguatan kebijakan untuk mengoptimalisasi upaya penanggulangan kemiskinan di daerah kaya tambang agar masyarakat di daerah tersebut tidak seperti ayam yang mati di lumbung padi, memiliki potensi daerah yang besar tetapi tidak dapat mengelola potensi tersebut dengan baik.
Direktur Eksekutif PATTIRO, Bejo Untung dalam paparannya pada Fokus Group Discussion Mendorong Optimalisasi Penanggulangan kemiskinan di Daerah Kayak Tambang pada Selasa (2/7) mengungkapkan PATTIRO merekomendasikan pemerintah kabupaten untuk mengoptimalkan pengelolaan pemasukan daerah yang berasal dari penerimaan pertambangan mendorong program penanggulangan kemiskinan di desa kaya tambang. “Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengelolaan CSR dari usaha pertambangan dan DBH SDA yang ditransfer melalui ADD untuk alokasi program penanggulangan kemiskinan,” ujar Bejo.
Pernyataan ini dikuatkan oleh Direktur Perencanaan Anggaran Daerah Ditjen Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahri, yang menjelaskan prioritas penggunaan penerimaan yang berasal dari usaha pertambangan adalah untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Hal ini merupakan bagian dari pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan yang kebijakan dan programnya seyogyanya tercantum dalam dokumen perencanaan Pembangunan daerah.
“Kemendagri melalui kepala daerah memastikan ketepatan sasaran dan integrasi program antar jenjang serta keterlibatan masyarakat secara luas melalui strategi percepatan penanggulangan kemiskinan yang meliputi pengurangan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan,” jelas Bahri.
Pengelolaan CSR Dari Usaha Pertambangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab sosial dan lingkungan ini diwujudkan melalui penganggaran dana CSR untuk program dan kegiatan sosial di daerah sekitar usahanya.
Spesialis Pengembangan Alat Analisa dan Data, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Alie Sadikin, mengungkapkan pemerintah daerah dan sektor non pemerintah dapat berkolaborasi dalam program penanggulangan kemiskinan dengan memastikan lokus program CSR berada dalam wilayah prioritas pengurangan kemiskinan ekstrem di daerah kaya tambang. Program CSR untuk penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dalam dua kategori, yaitu pengurangan beban dan pemberdayaan masyarakat. “Program tersebut dapat memanfaatkan data P3KE yang telah berperingkat untuk menentukan target penerimanya,” terang Alie.
Dalam hal ini Kabupaten Aceh Barat telah memiliki regulasi terkait pemanfaatan dana CSR dari perusahaan tambang untuk penanggulangan kemiskinan ekstrem, yaitu Surat Keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 605 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 799 Tahun 2019 tentang Pembentukan Forum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2021.
Pengelolaan DBH SDA Melalui Transfer ADD
Analisis Kebijakan Ahli Madya Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa, Anastutik Wiryaningsih, mengkonfirmasi bahwa pengentasan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem memang menjadi salah satu prioritas penggunaan Dana Desa. Selain itu, dana desa juga dapat digunakan untuk bantuan permodalan BUM Desa/BUM Desa Bersama. Harapannya usaha yang diberikan bantuan permodalan melalui Dana Desa ini dapat memanfaatkan potensi area tambang atau bekas tambang yang ada untuk sektor lain. “Area bekas tambang berpotensi dimanfaatkan untuk perikanan, pariwisata, atau untuk ketahanan pangan,” tambah Anastutik.
Kabupaten Bojonegoro memiliki regulasi yang mengatur alokasi dana desa untuk mengatur proporsi transfer Dana Desa yang berasal dari DBH Migas, yaitu Peraturan Bupati Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Alokasi Dana Desa Proporsional Berdasarkan Koefisien Variabel Kawasan. Pada 2023, terdapat dua desa yang menjadi penerima manfaat dari ADD ini, yaitu Desa Mojodelik—menerima ADD sebesar 2,92 miliar rupiah—dan Desa Gayam—menerima ADD sebesar 2,85 miliar rupiah.
Inisiatif yang telah dilakukan Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Bojonegoro berbuah baik. Pada 2023, Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Bojonegoro berhasil mendapatkan insentif fiskal dari pemerintah pusat untuk kategori penghapusan kemiskinan ekstrem masing-masing sebesar 5,5 miliar rupiah dan 5,6 miliar rupiah.
Adanya pemberian insentif fiskal dari pemerintah pusat ini perlu terus didorong untuk memberikan daya ungkit program penanggulangan kemiskinan pada pemerintah daerah. Kepala Sub Direktorat Sosial dan Budaya Direktorat SUPD III Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kemendagri, Wahyu Suharto, mengatakan pemberian insentif fiskal untuk kategori penghapusan kemiskinan ekstrem telah dilakukan sejak 2023. Untuk 2024, indikator yang ditetapkan pada insentif fiskal kategori ini adalah penetapan SK TKPK, penetapan RAT Tahun 2021, SK Penetapan Data P3KE Daerah, lampiran SK Penetapan Data Pensasaran PPKE Daerah atau Data Verval P3KE, pelaporan PPKE TW I dan TW II Tahun 2024, realisasi belanja tagging kemiskinan ekstrem.