Tambang merupakan sektor usaha dengan keuntungan yang tinggi. Kenyataan bahwa tambang lekat dengan kemiskinan dan daerah lingkar tambang menjadi kantong kemiskinan menunjukkan perlunya keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat lingkar tambang melalui kebijakan yang inovatif. Untuk menyikapi ini dengan efektif, kita harus keluar dari pola business as usual.
Saat ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah di daerah kaya tambang masih berorientasi santunan. Kebijakan eksisting di Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Sumbawa Barat yang menjadi wilayah dampingan PATTIRO berfokus pada bantuan untuk mengurangi pengeluaran rumah tangga mereka, merentang dari bantuan perbaikan rumah dan stimulan rumah hingga perlindungan untuk fakir miskin.
Arah dari sejumlah kebijakan daerah ini mengikuti rumusan regulasi nasional penanganan fakir miskin, Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2011. Regulasi ini menegaskan sejumlah tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyediakan bantuan-bantuan mendasar bagi fakir miskin. Kebijakan nasional yang dicetuskan setelahnya pun biasanya berangkat dari UU ini, dan lebih berfokus pada memperinci target tingkat kemiskinan, daerah prioritas, percepatan, maupun pembentukan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan.
Tabel 1. Kebijakan-kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Empat Kabupaten Kaya Tambang
Sumber: Hasil Olahan Tim Penulis (2024)
Persoalannya, sumber daya fiskal untuk penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang disebutkan masih terbatas. Meskipun bantuan untuk mengurangi pengeluaran rumah tangga miskin diperlukan, program semacam ini akan terganjal dengan jumlah anggaran yang ada sehingga sulit memberikan efek menyeluruh. Dihadapkan dengan anggaran belanja rutin yang terus-menerus meningkat, efektivitas program bantuan akan tergerus, lebih-lebih dalam jangka panjang.
Di sisi lain, kajian-kajian tentang kutukan sumber daya alam mengingatkan kita bahwa tambang membelenggu pembangunan karena menimbulkan disinsentif untuk mengembangkan sektor-sektor lain. Dengan berlimpahnya keuntungan yang dihasilkan tambang, para pemangku kepentingan terpaku mengembangkan sektor ekstraksi dan mengabaikan sektor-sektor lain.
Hal ini nampak dari pengamatan kami di Kabupaten Sumbawa Barat, sebagaimana dikonfirmasi juga kajian SMERU di wilayah yang sama (Indrio dkk., 2024). Kendati daerah ini memiliki potensi pariwisata yang besar, rata-rata warga lebih tertarik bekerja di tambang. Warga tidak terlalu tertarik bekerja di sektor perhotelan maupun mengembangkan usaha pariwisata. Baik dari sisi upah hingga kebanggaan, bekerja di tambang lebih menarik bagi para pemuda.
Demikian juga dengan fokus pemerintah terhadap pariwisata. Pariwisata membutuhkan infrastruktur yang memadai untuk memastikan kenyamanan dan mobilitas wisatawan. Pada kenyataannya, pembangunan fasilitas penunjang vital seperti jalan, listrik, akses internet, sanitasi, dan air bersih masih belum maksimal. Padahal, diversifikasi potensi ekonomi di wilayah-wilayah lingkar tambang tak bisa ditawar. Tambang bukan sumber daya alam terbarukan, selain juga harga komoditasnya fluktuatif.
Inovasi Fiskal
Kabupaten-kabupaten kaya tambang sebenarnya memiliki ruang untuk merumuskan kebijakan inovatif optimalisasi fiskal yang berpihak bagi masyarakat lingkar tambang. Meski kebijakan desentralisasi sudah mendorong pemerataan keuntungan eksploitasi sumber daya alam ke provinsi dan kabupaten penghasil melalui transfer Dana Bagi Hasil (DBH), keuntungan ini belum banyak diterima oleh wilayah lingkar tambang.
Dari dana perimbangan ini, UU Desa tahun 2014 mengatur bahwa 10 persen wajib diperuntukkan bagi Alokasi Dana Desa (ADD). Namun, lantaran didistribusikan secara merata untuk seluruh desa di bawah kabupaten dan diprioritaskan untuk menggaji perangkat desa, ADD masih lebih banyak dihabiskan untuk mendanai perangkat desa ketimbang program penanggulangan kemiskinan. Di daerah seperti Kabupaten Lebong, ADD bahkan tidak mencukupi untuk gaji perangkat desa.
Sementara itu, DBH SDA di beberapa tempat kajian kami cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tren ini mengikuti tren peningkatan investasi pertambangan global dan harga komoditas mineral. Kita dapat membayangkan tersedianya dana strategis untuk program penanggulangan kemiskinan bila saja pemerintah daerah mereformulasi jatah dana perimbangan untuk ADD. Dengan fakta bahwa lebih dari separuh anggaran pemerintah daerah terpakai untuk belanja rutin, terutama gaji pegawai, sebenarnya ada ruang fiskal untuk menyisihkan anggaran bagi kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan di lingkar tambang. Yang diperlukan adalah kebijakan yang lebih progresif dari sisi pemerintah daerah.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro telah mencoba hal ini. Sejak 2009, Pemkab Bojonegoro merumuskan skema ADD yang inovatif. ADD ditetapkan sebesar 12,5 persen dari DBH tahunan yang diterima dari pemerintah pusat, dan sebanyak 40 persen dari ADD difokuskan untuk desa lingkar tambang. Kebijakan ini menunjukkan keberpihakan yang jelas. Angka kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro masih tinggi, tapi dia berada dalam tren menurun yang dramatis. Masyarakat lingkar tambang pun biasanya harus menghadapi dampak ekonomi dan ekologis yang merugikan. Alokasi dana untuk desa lingkar tambang merupakan bentuk pertanggungjawaban yang sepatutnya.
Pemkab Lebong juga mencoba menaikkan dana ADD. Hal serupa dilakukan oleh Pemkab Aceh Barat, sambil memodifikasi aturan Dana Desa untuk mencari sumber anggaran lainnya. Hanya saja, keduanya masih melakukannya untuk memenuhi kebutuhan insentif tetap perangkat desa mereka.
Dana lain yang tersedia untuk mendanai program penanggulangan kemiskinan lingkar tambang adalah dana Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan yang merupakan bagian dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perusahaan sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 tentang TJSL Perseroan Terbatas.
Sebagaimana yang dilakukan Pemkab Aceh Barat, pemerintah daerah dapat mengarahkan dana CSR perusahaan untuk mendanai kegiatan penanggulangan kemiskinan di lingkar tambang. Pemanfaatan dana CSR dari perusahaan tambang dapat mendukung pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan dasar, maupun peningkatan keterampilan warga.
Melibatkan Masyarakat
Acap, warga menemukan kesenjangan di antara bantuan penanggulangan kemiskinan pemerintah daerah dengan apa yang mereka butuhkan. Hal ini terjadi pasalnya dalam perencanaan bantuan, pemerintah tidak melakukan kajian maupun melibatkan warga. Ruang-ruang dialog antara masyarakat lingkar tambang dengan pemerintah maupun perusahaan tambang menjadi hal yang penting. Begitu juga dengan kajian yang berangkat dari pendekatan yang tepat.
Sebenarnya sudah ada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang merupakan forum lintas pemangku kepentingan (multistakeholder) untuk merumuskan dan mengawal program kemiskinan di daerah. Forum ini merupakan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 53 Tahun 2022 tentang Tata Kerja dan Penyelarasan Kerja serta Pembinaan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota.
Idealnya, TKPKD beranggotakan organisasi perangkat daerah (OPD) lintas sektor, sektor swasta, dan kelompok masyarakat sipil. Upaya ini sebenarnya bermaksud untuk memberikan ruang kepada beragam stakeholder untuk dapat berkontribusi dalam merancang program penanggulangan kemiskinan di daerah. Namun, pada praktiknya forum ini belum berjalan cukup optimal, utamanya dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan.
Selain itu, dari sisi keanggotaan TKPKD, baru Kabupaten Bojonegoro saja yang sudah mengakomodasi ketiga stakeholder, sementara di Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Aceh Barat TKPKD masih hanya beranggotakan OPD Pemkab, ada juga yang mengajak pihak swasta saja tanpa kelompok masyarakat sipil meskipun keanggotannya pasif dalam TKPKD.
Dalam menggali perspektif masyarakat terhadap isu kemiskinan, PATTIRO bersama Bojonegoro Institute, Yayasan AKAR, MaTA Aceh, dan SOMASI NTB melakukan kajian dengan pendekatan sustainable livelihood approach (SLA) di empat desa lingkar tambang kabupaten-kabupaten yang sudah disebutkan. Hal yang segera mencuat adalah desa-desa ini memiliki potensi serta permasalahan yang mudah luput dari perhatian.
Berbicara soal akses terhadap penghidupan dari tambang, selama ini posisi-posisi kerja yang didapatkan masyarakat dari perusahaan cenderung tak memerlukan keahlian khusus tinggi seperti supir, katering makanan, kebersihan, serta keamanan. Mereka juga mendapatkan kue perekonomian melalui sektor usaha informal seperti menyewakan tempat tinggal serta membuka jasa seperti cuci baju.
Dengan rendahnya tingkat pendidikan yang relevan untuk profesi tambang, program bantuan pendidikan bagi warga di lingkar tambang dapat menjembatani masyarakat agar lebih mampu mengakses penghidupan dari tambang. Bersamaan dengan ini, kebijakan afirmatif perusahaan agar membuka kesempatan kerja yang lebih bagi masyarakat lingkar tambang juga patut didorong.
Empat masyarakat wilayah lingkar tambang yang menjadi fokus PATTIRO pun memiliki modal alam untuk pertanian dan pariwisatanya masing-masing. Kendala dalam memberdayakan modal ini terkait dengan infrastruktur, akses finansial, maupun pendidikan.
Di Lebong, misalnya, terdapat Danau Liang yang memiliki keunggulan alami tinggi. Berada di wilayah perbukitan dengan curah hujan tinggi, daerah ini potensial untuk ditanami berbagai jenis komoditas dataran tinggi seperti kopi, teh, rempah maupun buah-buahan dan sayur-sayuran. Persoalannya, daerah semacam ini sulit diakses karena ketiadaan jalan. Masyarakat lingkar tambang juga tidak selalu memiliki modal finansial untuk memulai kegiatan pertanian skala besar, dan menabung belum menjadi kebiasaan.
Dengan kebijakan ADD yang lebih inovatif dan program pemerintah daerah di lingkar tambang yang terkoneksi dengan CSR perusahaan, kita dapat mendorong program-program yang menyasar langsung kebutuhan konkret masyarakat ini.