Meskipun hidup di daerah yang kaya sumber daya tambang, nasib warga di Desa Sukoharjo sungguh mesakno. Di tengah eksploitasi sumber daya alam oleh industri minyak dan gas (migas), mereka justru harus memikul beban berat berupa kemiskinan, kesenjangan sosial, serta kerusakan lingkungan yang terus mengancam penghidupan mereka.
Desa Sukoharjo berada di lingkar tambang Migas Lapangan Kedung Keris Blok Cepu. Mirisnya, meskipun menyumbang sekitar 30% produksi migas nasional, warga di Desa Sukoharjo masih hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS pada Maret 2024, tingkat kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro masih mencapai 11,69%—meskipun menunjukkan tren penurunan, angka ini masih jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 9,03%.
Desa Sukoharjo sering dilanda kekeringan dan banjir akibat lahan desa di bantaran Sungai Bengawan Solo yang gersang dan belum dimanfaatkan secara optimal. Jengah dengan kondisi ini, Kepala Desa Sukoharjo menginisiasi pemanfaatan lahan terbengkalai untuk mengurangi dampak bencana sekaligus meningkatkan nilai ekonomi. Bersama warga, perguruan tinggi, dan kelompok masyarakat sipil, Pemerintah Desa Sukoharjo mencari solusi konkret atas permasalahan tersebut. Langkah ini merupakan bagian dari Program Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Inovasi Percepatan Pengentasan Kemiskinan Desa, yang dijalankan oleh Bojonegoro Institute bersama Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), dengan dukungan Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri.
Melalui pendekatan sustainable livelihood approach (SLA), warga bersama pemangku kepentingan berhasil mengidentifikasi lima modal penghidupan utama: modal alam, manusia, sosial, finansial, dan infrastruktur. Dari hasil diskusi ini, warga Desa Sukoharjo sepakat untuk mengembangkan kawasan Desa Ekowisata Agroforestry secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak.
Inisiatif di Desa Sukoharjo diawali dengan memperkaya pertanian konvensional yang sebelumnya hanya menanam palawija menjadi sistem wana tani (agroforestry) yang juga mengembangkan tanaman buah bernilai ekonomis, seperti jambu kristal dan nangka madu. Selain itu, warga juga menanam bibit Pohon Pule untuk mencegah abrasi di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, serta Pohon Alpukat yang dirancang menjadi bagian dari wisata petik buah di lahan desa.
Gerakan penghijauan ini tidak hanya menjadi bagian dari tanggung jawab moral untuk berkontribusi dalam menjaga lingkungan, tetapi juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan warga. Melalui pengembangan budidaya tanaman buah bernilai ekonomis, warga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Bahkan, Desa Sukoharjo juga mengajak desa-desa sekitar lainnya untuk bekerja sama dalam menjaga ekosistem bantaran sungai dari hulu ke hilir melalui sistem tanam agroforestry.