Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah kini tengah disusun oleh Kementerian Dalam Negeri. Revisi ini sangat penting untuk mendorong pengalokasian anggaran berbasis kinerja, terutama terkait isu lingkungan hidup. Seiring dengan adanya efisiensi anggaran yang diumumkan pemerintah pusat pada 2025 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, penguatan regulasi bantuan keuangan daerah menjadi langkah krusial.
Fitria, Direktur Eksekutif PATTIRO dalam sambutannya pada diskusi terbatas bertajuk Penguatan Kebijakan Bantuan Keuangan Khusus Berbasis Kinerja dan Berkelanjutan dalam Revisi PP Nomor 12 Tahun 2019 yang diselenggarakan oleh PATTIRO didukung The Asia Foundation pada 20 Februari 2025 mengungkapkan bahwa regulasi ini belum secara memadai mengatur pendanaan untuk isu lingkungan. “Apalagi di tahun ini (2025) ada tantangan besar untuk memastikan pendanaan lingkungan tetap ada dalam APBD di tengah efisiensi anggaran,” ujar Fitria.
Alam Surya Putra, Direktur Environment and Climate Action Unit TAF Indonesia, turut menegaskan bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang sudah ditetapkan pemerintah akan memengaruhi alokasi anggaran dan transfer bantuan keuangan daerah. Saat ini, berbagai jenis transfer dari pusat ke daerah, seperti Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Desa, sudah berbasis kinerja. Namun, transfer antar daerah atau Bantuan Keuangan (Bankeu), khususnya Bantuan Keuangan Khusus (BKK), belum mengadopsi pendekatan berbasis kinerja.
Pengalokasian BKK yang belum berbasis kinerja menimbulkan masalah transparansi dan efisiensi, apalagi dengan kelemahan pada dasar hukum yang masih bergantung pada Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang bersifat sementara. Perkada tersebut lemah secara hukum lantaran berlaku dalam jangka pendek dan rawan perubahan politis.
PATTIRO mengusulkan agar BKK berbasis kinerja dimasukkan dalam revisi PP Nomor 12 Tahun 2019. Sumyati, Program Officer PATTIRO, menjelaskan bahwa UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengamanatkan transfer berbasis kinerja untuk kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kajian PATTIRO, transfer dana dari pusat ke daerah sudah berbasis kinerja, seperti DBH, DAU, DAK, dan lainnya. Namun untuk transfer antar daerah seperti Bantuan Keuangan dari Pemerintah provinsi ke Kabupaten/Kota atau ke Desa, belum berbasis kinerja. Pemilihan Bankeu ini dikarenakan ada dua hal. Pertama, kurang transparannya mekanisme pengalokasian dan penyaluran BKK yang belum berbasis kinerja. Kedua, BKK berbasis kinerja yang sudah diterapkan masih lemah payung hukumnya.
Penerapan indikator kinerja dalam distribusi BKK dapat mendorong peningkatan kualitas kinerja pemerintah daerah, terutama dalam pelayanan publik. Untuk mendorong keberlanjutan, regulasi tentang pengaturan BKK sebaiknya tidak hanya melalui Perkada, namun juga Peraturan Daerah (Perda).
“Sebagai contoh, sejak 2018, lebih dari 40 daerah di Indonesia telah menerapkan transfer fiskal berbasis kinerja ekologi melalui skema Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Anggaran Kelurahan berbasis Ekologi (ALAKE).”Dari sisi dampak, skema ini telah berhasil mendorong ekonomi sirkuler di Kalimantan Utara, yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tata kelola keuangan daerah. Skema ini juga telah diakomodasi dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2025, jelas Sumyati.
Selaras dengan ini, Rino Rio, Analis Perencanaan Anggaran Daerah Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, mendukung usulan PATTIRO untuk adanya indikator kinerja dalam pendistribusian BKK. “Ini selaras ya dengan Insentif Fiskal yang ada di pusat dari Kementerian Keuangan. Sebelumnya, insentif fiskal diberikan berdasarkan opini audit dan penetapan APBD tahun sebelumnya. Saat ini, insentif fiskal diberikan berdasarkan kinerja daerah dalam mendukung program nasional,” ungkap Rino. Ia juga menambahkan bahwa tujuan dari revisi PP Nomor 12 Tahun 2019 ini adalah untuk menyederhanakan regulasi dan memastikan APBD lebih efisien serta fokus pada belanja prioritas daerah.
Akademisi IPDN, Prof Dr. Djohermansyah Djohan, MA, menambahkan, revisi PP Nomor 12 Tahun 2019 ini penting lantaran sudah usang dan dan perlu disesuaikan dengan perkembangan regulasi. Menurutnya sejak 2019 banyak UU baru yang memengaruhi keuangan daerah, terutama UU HKPD. Selain itu, pemerintahan Prabowo saat ini menekankan efisiensi anggaran sehingga berdampak pada pengelolaan keuangan daerah.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki pengalaman dalam mengimplementasikan skema BKK berbasis kinerja untuk isu lingkungan hidup, di mana indikator lingkungan hidup dipilih untuk merespons tantangan perubahan iklim dan deforestasi di Kabupaten/Kota di Provinsi NTB yang mengakibatkan bencana. Sekretaris Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bowo Susatyo, membagikan pengalaman Provinsi NTB dalam menyelenggarakan Kompetisi Desa Peduli Lingkungan. Kompetisi tersebut melibatkan lebih dari 1.000 desa, dengan pemenangnya mendapatkan reward untuk pendanaan lingkungan.
“Sudah ada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 60 Tahun 2022 yang mengatur tata cara penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan bantuan keuangan. Fokus utama pada lingkungan hidup, tetapi juga mendukung urusan wajib pemerintah daerah, seperti pendidikan dan kesehatan; pelayanan publik dan pemerintahan; pengelolaan lingkungan hidup dan kebencanaan; serta pengarusutamaan gender dan inklusi sosial,” jelas Bowo.
Terakhir, Dira Ensyadewa, Perencana Ahli Muda Direktorat Pendapatan Daerah Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri menambahkan bahwa dalam revisi PP Nomor 12 Tahun 2019, aspek pendapatan daerah juga harus diperhatikan. Banyak daerah yang menyusun target pendapatan tidak berdasarkan potensi riil, sehingga seringkali mengalami defisit anggaran. Oleh karena itu, perbaikan dalam manajemen kas daerah sangat penting agar anggaran daerah lebih sehat dan efisien.
Secara keseluruhan, revisi PP Nomor 12 Tahun 2019 menjadi momentum yang penting untuk memperkuat regulasi bantuan keuangan daerah, mendorong transparansi, dan menciptakan pengelolaan keuangan daerah yang lebih efisien serta berbasis kinerja yang berkelanjutan.