Green Leadership Forum II Dorong Integrasi Pembangunan Hijau dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah

Makassar, 29 Juli 2025 — Krisis lingkungan yang kian parah menuntut hadirnya kepemimpinan daerah yang visioner dan berpihak pada kelestarian alam. Hal ini mengemuka dalam Green Leadership Forum (GLF) II yang digelar di Makassar, Selasa (29/7), dengan fokus mendorong integrasi pembangunan hijau dalam perencanaan dan penganggaran daerah.

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengapresiasi komitmen Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengarusutamakan mitigasi perubahan iklim ke dalam program pembangunan.

“Sinergi lintas sektor menjadi kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan,” ujar Bima dalam pidato kuncinya.

Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Jufri Rahman, mewakili Gubernur Andi Sudirman Sulaiman, menyebut GLF II sebagai bukti konkret keberlanjutan komitmen sejak suksesnya GLF pertama pada 2022.

“Forum ini adalah bukti nyata dari keberlanjutan komitmen kita bersama, setelah kesuksesan Green Leadership Forum pertama pada tahun 2022 yang berhasil mendorong lahirnya kebijakan inovatif Transfer Anggaran berbasis Ekologi (TAKE) dan Alokasi Anggaran Kelurahan berbasis Ekologi (ALAKE),” ujar Jufri.

Jufri juga menambahkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan telah menjadikan isu perubahan iklim sebagai prioritas pembangunan jangka panjang dan menengah. Prinsip pembangunan hijau dan rendah karbon sudah menjadi bagian integral dari Rancangan Akhir RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2025–2029.

Kegiatan ini turut dihadiri oleh para bupati dan wali kota se-Provinsi Sulawesi Selatan, seperti Walikota Makassar, Bupati Maros, Buparti Sinjai, dan lainnnya. Selain pimpinan daerah, hadir pula sejumlah kepala dinas terkait, antara lain dari Bappeda, Dinas PMDP2KB3A, serta Dinas Lingkungan Hidup.

Mendorong Anggaran untuk Perlindungan Lingkungan

PATTIRO bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) melalui dukungan The Asia Foundation sejak 2017 menginisiasi skema Ecological Fiscal Transfer (EFT), yaitu transfer fiskal berbasis kinerja perlindungan lingkungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota kepada pemerintah di bawahnya.

Saat ini, EFT telah diadopsi oleh 48 pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), dengan total kontribusi lebih dari Rp 529 miliar. Namun angka ini baru mencakup 8,9% dari seluruh daerah di Indonesia.

Hingga kini, EFT diadopsi di 48 daerah dengan kontribusi total lebih dari Rp529 miliar. Di Sulawesi Selatan, Kabupaten Maros, Pangkep, dan Kota Parepare telah mengalokasikan Rp95,1 miliar untuk TAKE sejak 2022. Namun, menurut Direktur PATTIRO Fitria Muslih, rata-rata alokasi belanja fungsi lingkungan hidup di enam kabupaten/kota di Sulsel periode 2021–2024 hanya 1,55% dari total APBD.

“Proporsi ini fluktuatif, menandakan dukungan fiskal daerah pun menghadapi keterbatasan, sama seperti di tingkat nasional,” jelasnya.

Sumber: Olahan Data Tim PATTIRO (2025)

Tantangan dan Rekomendasi

Fitria menambahkan, kebutuhan pendanaan iklim nasional mencapai Rp343,6 triliun per tahun, sementara alokasi rata-rata hanya Rp76,3 triliun. Efisiensi belanja melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 juga berpotensi mengurangi Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah, yang berdampak pada kebijakan TAKE dari kabupaten ke desa.

Selain kendala fiskal, regulasi EFT di daerah yang masih berbasis Peraturan Kepala Daerah dinilai belum cukup kuat sebagai payung hukum jangka panjang.

PATTIRO bersama KMS-PE merekomendasikan perluasan skema EFT di Sulawesi Selatan, tidak hanya di tingkat kabupaten/kota, tetapi juga di tingkat provinsi. Penerapan EFT dinilai perlu dibarengi dengan penguatan kolaborasi multipihak antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil untuk memastikan agenda pembangunan hijau berjalan efektif. KMS-PE juga siap mendampingi pemerintah daerah dalam mendorong kebijakan berbasis EFT. Selain itu, pemerintah daerah didorong mengembangkan model pendanaan hijau lainnya, seperti dana bergulir atau skema result-based payment (RBP) melalui BPDLH.

Untuk pengembangan perhutanan sosial, PATTIRO dan KMS-PE merekomendasikan perluasan adopsi kebijakan IAD di tingkat kabupaten maupun provinsi. Di Kabupaten Maros, Enrekang, dan Luwu Timur, implementasi IAD dapat diperkuat dengan mengintegrasikannya ke DAK tematik, Dana Desa, CSR, dukungan mitra, dan perencanaan daerah. Pengembangan IAD berbasis perhutanan sosial juga dapat didorong melalui pembentukan KUPS Enterprises di lokasi-lokasi IAD, serta penguatan sistem informasi perhutanan sosial untuk memantau pelaksanaannya.

Penghargaan EFT

Sebagai bentuk apresiasi kepada pemerintah daerah yang telah menerapkan skema Ecological Fiscal Transfer (EFT), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) memberikan penghargaan kepada sejumlah kabupaten/kota. Penghargaan diberikan untuk tiga kategori, yaitu: Penerapan EFT dan Integrated Area Development (IAD) berbasis Perhutanan Sosial (Kabupaten Maros dan Kabupaten Enrekang); Penerapan EFT (Kota Parepare, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Bone); serta Penerapan Insentif Fiskal berbasis Kinerja (Kabupaten Barru).

Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ajang untuk memperkenalkan kabupaten-kabupaten yang baru mengadopsi skema EFT sebagai bentuk komitmen terhadap pembangunan hijau, yakni Kabupaten Sinjai, Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Bulukumba.

Scroll to Top