Laporan Tahunan 2014 ini mengambil tema utama Fokus Area Transparansi, yaitu menyorot tentang perjalanan PATTIRO mempromosikan isu transparansi, pembelajaran yang didapat dan agenda selanjutnya. Penekanan pada isu transparansi ini mengingat sebagian besar aktifitas yang dijalankan pada tahun 2014 terkait dengan isu transparansi.
Secara ringkas, perjalanan PATTIRO dalam mempromosikan isu transparansi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu Tahap 1: 2000-2006 (memperjuangkan RUU Kebebasan Informasi bersama dengan Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik [KMIP] dan mulai mengenalkan kekuatan informasi kepada masyarakat serta memfasilitasi pengorganisasian masyarakat dalam bentuk forum warga/community center); Tahap 2: 2007-2008 dengan fokus pada kesiapan badan publik dalam memberikan pelayanan informasi publik dan memfasilitasi warga untuk melakukan uji akses (permintaan informasi) kepada badan publik; Tahap 3: 2009-2011 fokus pada penguatan badan publik dalam membangun sistem pelayanan informasi publik, sekaligus implementasi UU KIP dan fasilitasi pembentukan Komisi Informasi Provinsi sekaligus penguatan kapasitas komisioner dalam penyelesaian sengketa informasi publik; dan Tahap 4: 2012-2014, kami mengimplementasi UU KIP ecara masif melalui pengembangan skema terpadu. Skema ini meliputi: penguatan kapasitas masyarakat melalui pendampingan terhadap kelompok warga (community center/CC); penguatan badan publik; fasilitasi pembentukan dan penguatan Komisi Informasi Provinsi; dukungan kepada badan publik di tingkat pusat (Komisi Informasi dan Kemendagri) dalam pembuatan panduan pelaksanaan UU KIP; serta memfasitasi jaringan FOINI melalui optimalisasi peran Sekretariat
FOINI dan memfasilitasi implementasi OGP melalui peran Sekretariat Tim Inti Open Government Partnership (OGP) di Indonesia.
Dari pengalaman mempromosikan keterbukaan informasi tersebut, beberapa pembelajaran yang diperoleh pada tingkat masyarakat antara lain bahwa forum warga (community center/CC) cukup efektif sebagai sarana pusat pembelajaran warga terkait transparansi; advokasi tidak dapat dilakukan secara vis a vis, dalam arti mempertentangkan antara pemerintah dengan masyarakat; dan pentingnya membangun koalisi masyarakat sipil sebagai bagian dari katalisator keterbukaan informasi publik. Pada tingkat badan publik, kami melihat melalui implementasi UU KIP, telah mengubah mindset pejabat publik dari “tertutup” menjadi “terbuka”. Selain itu, penghargaan (award) cukup efektif memotivasi pemerintah daerah dan pusat mengimplementasikan UU KIP. Pembelajaran lainnya yaitu permintaan
informasi dari warga penting untuk mengefektifkan layanan informasi badan publik. Sedangkan pada komisi informasi, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan dan rekrutmen komisioner menjadi sangat menentukan efektifitas KI Provinsi. Selain itu, dukungan Pemerintah Provinsi, terutama dalam alokasi dana operasional, sekretariat dan kegiatan turut menentukan kinerja KI Provinsi.
Bila dianalisis lebih dalam, keterbukaan informasi publik memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan badan publik itu sendiri. Melalui keterbukaan informasi, masyarakat lebih banyak terpapar informasi (melek informasi) dan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk menyampaikan kebutuhan, keluhan atau usulan perbaikan terhadap pelayanan yang diberikan pemerintah. Umpan balik dari warga masyarakat ini bila direspon dengan positif oleh pejabat publik, akan menjadikan lembaga pemerintah lebih responsif dan tampak lebih akuntabel. Dampak langsung bagi masyarakat terutama dikaitkan dengan adanya perbaikan pelayanan publik, yang berdampak pada berkurangnya biaya yang harus dikeluarkan oleh warga masyarakat. Selain itu, masyarakat juga memperoleh insentif dari transparansi dengan syarat warga dapat mengkonversi informasi publik yang diterimanya menjadi manfaat langsung.