Pada awal milenium ini harapan terhadap lahirnya tatanan masyarakat yang demokratis mekar berkembang di Indonesia. Seiring dengan terjadinya banyak perubahan situasi sosial dan politik yang dibawa oleh Reformsi 1998 dan penerapan otonomi daerah tahun 1999, bangkit pula harapan orang Indonesia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Istilah “kehidupan yang lebih baik” tidak sekedar dalam arti tercukupinya kebutuhan fisik primer semata, tetapi juga diakuinya martabat semua orang untuk turut serta dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Banyak orang dari kalangan rakyat biasa ingin berperan aktif dalam membangun negeri ini. Bukan hanya karena euforia atau keinginan yang secara impulsif muncul di tengah situasi krisis berkepanjangan sejak 1997. Tetapi karena mereka melihat bahwa pendekatan pembangunan telah dijalankan terbukti gagal. Terjadinya
pemerintahan yang lemah tapi korup, serta rapuhnya fondasi ekonomi dan kultur sosial masyarakat pada waktu itu, memberi bukti kegagalan tersebut. Banyak orang yang kemudian berharap segera terbukanya pintu-pintu partisipasi publik. Yaitu pintu-pintu yang memungkinkan semua orang untuk berdiri sejajar menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Pada masa-masa di mana harapan terhadap partisipasi publik itu begitu kuat, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) memulai perjalanannya. PATTIRO ingin terlibat aktif memberi kontribusi untuk tercapainya harapan itu. PATTIRO memandang bahwa untuk tercapainya harapan itu, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan. Pendekatan pertama adalah dengan masuk pada warga untuk melakukan pemberdayaan dan pendidikan kritis pada warga. Dengan itu diharapkan potensi partisipasi yang ada di dalam diri warga akan tumbuh berkembang. Pendekatan kedua adalah masuk mempengaruhi sistem. Dan menawarkan alternatif-alternatif untuk pembaharuan sistem pengambilan keputusan publik. PATTIRO memulai dengan pendekatan pertama pada awal kegiatannya, yaitu pada tahun 2000-an. Kemudian dua tahun berikutnya, PATTIRO mulai melakukan juga pendekatan kedua, dengan tanpa meninggalkan pendekatan pertama. Sampai saat ini upaya penguatan kapasitas partisipasi warga dilakukan bebarengan dengan advokasi untuk perubahan sistem pengambilan keputusan publik.