Sudah menjadi rahasia umum, kepala daerah banyak terjerat kasus korupsi dan/atau penyalahgunaan kewenangan. Doktrin Lord Acton yang menyatakan bahwa “power tend to corrupt, absolute power tend to corrupt absolutely” menemukan pembenarannya dalam konteks situasi negera Indonesia. Di awal tahun ini, sekitar Februari 2013, Mendagri Gamawan Fauzi telah melansir sebuah data yang memprihatinkan. Selama sembilan tahun terakhir, 2004 – 2012, terdapat 290 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Artinya, setiap tahun terdapat 32 kepala daerah yang bermasalah dengan hukum. Dari jumlah itu, sekitar 86,2 % telah dipidana. 290 kepala daerah itu terdiri dari: 20 orang menjabat sebagai gubernur, 7 orang wakil gubernur, 156 orang bupati, 46 orang wakil bupati, 41 orang walikota, dan 20 orang wakil walikota.
Melengkapi laporan Mendagri diatas, KPK, dalam Laporan Tahunan 2012 mengungkapkan, sejak 2007 hingga akhir tahun 2012, telah berhasil disidik dan dipidanakan 138 kasus korupsi ditingkat daerah. Dari 138 perkara korupsi tersebut, sebanyak 38 kasus terjadi ditingkat provinsi dan 60 kasus lainnya ditingkat kabupaten/kota. Delapan gubernur ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa. Dan ditingkat kabupaten/kota, dari 60 perkara korupsi, 32 bupati/walikota terjerat pula didalamnya. Kejadian ini semua terjadi dibawah rezim hukum pemerintahan daerah, UU 32/2004.
Dari data dan fakta tersebut menunjukkan bahwa UU 32/2004 belum memiliki kekuatan yang cukup memadai untuk mengantisipasi dan mereduksi peluang, potensi, dan melakukan mitigasi atas terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik di lingkungan pemerintahan daerah. Agar situasi yang sama tidak terjadi, dan dapat dilakukan upaya pencegahan, pengawasan, dan mitigasi atas tindakan korupsi yang mungkin akan terjadi, RUU Pemerintahan Daerah mesti turut memiliki konstruksi strategi dan anasir mainstreaming pemberantasan korupsi.