Sukses Pemilu langsung khususnya Pemilu presiden dan wakil presiden pada 2004 membawa harapan akan perubahan. Harapan besar ini tidak lepas dari asumsi bahwa Pemilu langsung merupakan wujud sebenarnya, bahkan satu-satunya, dari demokrasi itu. Sebuah hal yang wajar mengingat masyarakat masih berpikir
bahwa pemimpin adalah segalanya; gantilah pemimpin maka semuanya akan beres.
Namun, pengalaman selama 2005 menunjukkan bahwa asumsi itu hanyalah mitos. Pergantian kepemimpinan tidak selalu diikuti dengan perbaikan keadaan. Dari sisi ekonomi, terlihat pemimpin yang terpilih secara demokratis pun tidak mampu mengatasi kondisi yang makin buruk. Masyarakat melihat pemimpinnya gagal mencegah kenaikan BBM pada Oktober 2005 yang membawa akibat peningkatan biaya hidup. Keputusan dan kebijakan yang diambil pemerintahan baru terbukti tidak membawa perubahan yang berarti, setidaknya demikianlah yang dialami di tingkat akar rumput.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di tingkat daerah. Pemilihan kepala daerah langsung atau Pilkada langsung tidak lantas diikuti oleh munculnya pemerintahan yang peka dan responsif terhadap aspirasi rakyat kecuali di beberapa tempat, seperti Kabupaten Jembrana, dan ini masih sangat jarang. Di luar beberapa peristiwa kekerasan fisik yang terjadi di sana-sini, tudingan adanya kecurangan yang sampai harus dibawa ke pengadilan, Pilkada langsung memang berlangsung relatif mulus. Namun, pemimpin pemerintahan baru di daerah sebagian besar masih belum menerapkan sistem pemerintahan yang baru. Sering yang terjadi adalah perubahan pimpinan tanpa perubahan sistem.