Peta Masalah Pupuk Bersubsidi di Indonesia

Indonesia telah menerapkan kebijakan pupuk bersubsidi sejak 1970-an. Kebijakan ini bertujuan meringankan beban petani agar ketika mereka memerlukan pupuk untuk tanaman pangannya, pupuk tersedia dengan harga terjangkau.

Terdapat argumentasi bahwa, pertama pemanfaatan teknologi pupuk sampai saat ini diakui sebagai teknologi intensifikasi pertanian untuk meningkatkan hasil pangan. Kedua, petani Indonesia umumnya tidak bisa memanfaatkan teknologi pupuk ini karena kurang mampu membeli pupuk sesuai harga pasar. Sehingga pemerintah Indonesia yang berkepentingan dengan peningkatan produktivitas hasil pangan demi ketahanan pangan nasional, kemudian memilih opsi memberikan subsidi harga pupuk untuk petani.

Dalam praktik saat ini, pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi ditataniagakan dengan memakai ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET). Penetapan HET dilakukan di penyalur resmi (pengecer) yang ditunjuk distributor. Pupuk bersubsidi diperuntukkan untuk sektor pertanian yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, hijauan pakan ternak, dan budidaya ikan dan/atau udang.

Sasaran pengguna pupuk bersubsidi adalah petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan paling luas 2 (dua) hektare setiap musim tanam per keluarga petani. Sementara untuk pembudidaya ikan dan/atau udang paling luas 1 (satu) hektare.

Meskipun ketentuan pelaksanaan program pupuk bersubsidi telah diatur mekanismenya, namun masih terdapat banyak permasalahan. Penelitian PATTIRO di 10 (sepuluh) daerah menyatakan terdapat permasalahan pada aspek pendataan, penganggaran, penyaluran/distribusi, dan pengawasan dari pelaksanaan program pupuk bersubsidi periode 2009 — 2011.

Pada aspek pendataan, ditemukan data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang tidak valid, di mana terdapat penggelembungan (mark-up) luas lahan dan jumlah petani. Pada aspek penganggaran, diperoleh temuan audit yang mengoreksi jumlah perhitungan subsidi karena dihitungnya jumlah volume pupuk Delivery Oder (DO) yang belum disalurkan.

Selain itu, juga karena ada biaya-biaya yang tidak termasuk komponen produksi dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) menjadi dasar perhitungan nilai subsidi pupuk.Pada aspek penyaluran/distribusi, ditemukan penjualan pupuk dengan harga di atas HET, penjualan pupuk kepada petani yang tidak terdaftar dalam RDKK, tidak dipasangnya spanduk pengumuman harga, penyaluran pupuk yang tidak sesuai dengan DO, keterlambatan distribusi, kelangkaan, penggantian kemasan, penimbunan, penjualan di luar wilayah distribusi, dan terdapat pengecer yang tidak resmi.

Sedangkan terkait aspek pengawasan, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KPPP) di tingkat provinsi maupun kabupaten tidak menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Mereka dinilai tidak memahami sepenuhnya tugas dan fungsinya, tidak membuat laporan pengawasan, serta kurangnya dana untuk melakukan pengawasan.

Scroll to Top
Skip to content