Berbicara sejarah perubahan dan perkembangan di Indonesia tanpa membicarakan peran CSO adalah mustahil. Situasi sosial dan politik yang dinamis di Indonesia juga membawa perubahan pada peta pergerakan CSO atau NGO di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto dan terbukanya peluang proses demokratisasi di Indonesia memunculkan wacana good governance, akuntabilitas dan transparansi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara aktif dan terus menerus mengawasi kegiatan Negara dan lembaga politik lainnya tumbuh menjadi lembaga pemantau atau “watchdog”.
Sejak keterlibatan LSM dalam Pemilu 1999, kegiatan pengawasan terus berkembang, sehingga hampir semua aspek lembaga negara diawasi oleh LSM. Kini Indonesia memiliki berbagai lembaga pengawas, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Pengawas DPR/Legislatif (DRP-Watch), Pengawasan Pemerintah (GOWA), Pengawasan Polisi (PolWatch), dan Pengawasan Anggaran (FITRA).
Untuk mendorong kebijakan politik yang adil, beberapa LSM di Indonesia membangun jaringan dan koalisi dalam melakukan advokasi yang mengubah, mempengaruhi atau membuat rencana hukum/peraturan.
Selain itu, UU No. 25/1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang otonomi daerah melakukan pengalihan otonomi; dari otonomi tunggal pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemindahan ini juga sebagian disebabkan oleh intervensi LSM.
Jatuhnya Orde Baru membuat euforia demokrasi membanjir dimana-mana. Salah satu euforia tersebut terlihat pada pelaksanaan otonomi daerah. Namun, layaknya bayi yang baru lahir, otonomi daerah tetap perlu diawasi dan diawasi. Di sinilah PATTIRO, sebagai organisasi terdepan dalam masalah pemerintahan daerah, berdiri. PATTIRO bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik di tingkat pemerintah daerah