Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, sejak terjadinya reformasi di akhir dekade 1990-an, Indonesia mengalami perubahan pesat dalam kehidupan bernegara, yakni terjadi penguatan komitmen untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) serta menerapkan semangat demokratisasi dan desentralisasi. Komitmen pemerintah untuk senantiasa menegakkan HAM dimulai dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945, membuat undang-undang tentang penjaminan dan pengaturan HAM, serta meratifikasi sejumlah perjanjian internasional tentang HAM, seperti meratifikasi Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) serta Hak Sipil dan Politik (Sipol) yang masing-masing disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Semangat demokrasi sendiri ditunjukkan dengan besarnya antusias para partai politik dalam mengikuti pemilihan umum serta kuatnya semangat pemerintah dalam memberlakukan peraturan perundang-undangan yang menjamin hak masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan pembangunan.
Selain gaung penegakkan HAM dan demokrasi yang semakin kencang, penerapan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi menjadi hal penting lain yang mulai menarik perhatian publik. Ini karena kebijakan desentralisasi memandatkan pemerintah pusat untuk mengurangi kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Wewenang untuk membuat kebijakan dan perencanaan pembangunan, menyelenggarakan pelayanan publik, serta mengelola anggaran yang sebelumnya menjadi kuasa pemerintah pusat, kini berpindah ke tangan pemerintah daerah. Dengan pemberlakuan kebijakan ini, pemerintah daerah dapat membuat perencanaan pembangunan dan kebijakan daerah yang mencerminkan aspirasi serta kebutuhan para pemangku kepentingan dan masyarakat daerah. Namun, sayangnya, kebijakan desentralisasi membuat komitmen penegakkan HAM di daerah menjadi beragam.
Demokratisasi dan desentralisasi juga berkembang pesat seiring dengan menguatnya kebebasan pers dan perkembangan teknologi informasi. PATTIRO mengakui bahwa media massa memiliki kekuatan dahsyat untuk menjadikan sebuah isu meluas dengan cepat. Media juga memiliki pengaruh besar dalam keberhasilan sebuah advokasi. Untuk itu, PATTIRO merasa kerja sama dengan meda baik di level nasional maupun di daerah perlu dilakukan, terutama untuk melipatgandakan dampak advokasi serta membangun eksistensi, citra, dan kredibilitas.
Tidak hanya itu, untuk memperkokoh semangat demokrasi terutama dan memperkuat komitmen pemenuhan hak warga negeara serta untuk memastikan agar kebijakan desentralisasi mampu mengakomodasi hak, kepentingan, dan aspirasi masyarakat di daerah, PATTIRO merasa bahwa penguatan kapasitas masyarakat sipil di daerah perlu dan penting dilakukan.
Dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat sipil di daerah, PATTIRO memulainya dengan membangun dan memantapkan keberadaan organisasi masyarakat sipil serta mengembangkan kapasitas mereka untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan keputusan di daerahnya, serta berperan dalam pengawasan guna memastikan bahwa sumber daya negara yang dilimpahkan ke daerah benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Agar hal itu dapat terwujud, tentu diperlukan upaya nyata di lapangan, terutama untuk mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk mengetahui hal apa saja yang PATTIRO lakukan sepanjang tahun 2011 terutama kegiatan yang terkait dengan penguatan masyarakat sipil, silahkan baca di Laporan Tahunan PATTIRO Tahun 2011 dengan mengunduh file .pdf yang tersedia di tautan di bawah ini.